Kamis, 26 Maret 2009
BAHASA TORAJA
Kekhasannya dapat ditemukan dari penggunaan kata-kata Melayu Tua dalam Bahasa Toraja, Misalnya: Tasik = Laut, Tunu = Membakar, Pitu = Tujuh, dll.
Bahasa Toraja memiliki banyak dialek (Logat), Misalnya di daerah Utara Toraja ada Logat Sa'dan-Rantepao, Logat Tallulembang (Sangalla', Makale dan Mengkendek), Logat Toraja Barat (Rembon-Saluputti), Logat Toraja Selatan (Gandang Batu, Sillanan, Duri), Logat Toraja Luwu (Palopo) dan Logat Mamasa.
UMPOYA ANGIN DAN MANGRAMBU TAMPAK BELUAK
Menurut Aluk Todolo setiap orang yang mati harus diupacarakan agar arwahnya dapat diterima sebagai arwah yang baik di Puya dan dapat menjadi Tomembali Puang yang memperhatikan keturunannya.
Oleh karena kewajiban daripada arwah serta keyakinan dalam Aluk Todolo, maka orang yang mati di luar daerahnya dapat diupacarakan dengan cara yang wajar sesuai dengan cara tertentu, namun mayatnya tidak diketahui tempatnya. Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu
1. Di poyan angin, yaitu jika seseorang yang meninggal dan jasadnya tidak didapatkan atau tidak diketahui dimana letak jenasahnya, sehingga tidak didapatkan ujung rambut atau ujung kukunya ataupun pakaiannya, terutama orang yang tenggelam di laut, hilang di dalam hutan, maka orang yang mati itu harus diupacarakan dengan Upacara Dipoyang Angin yaitu seluruh keluarga dari yang mati pergi ke puncak gunung dan membawa sebuah sarung yang baru untuk memukat angain dengan sarung tersebut.Cara memukat angin ini adalah salah satu ujung sarung diikat kemudian diarahkan ke arah datangnya angin. Angin yang membuat sarung menggembung akan ditangisi oleh perempuan dan segera para pria akan mengikat ujung yang masih terbuka sehingga sarung akan terisi angin yang menggembung.Pada saat itu diyakinkan bahwa nyawa dan roh dari yang mati telah masuk ke dalam sarung tadi, dimana kemudian sarung yang berisi angin tersebut dibawa ke Tongkonan untuk selanjutnya dibungkus menyerupai bundaran balun dan dianggap sebagai jenasah dari orang yang mati. Replika jenasah ini kemudian diupacarakan sesuai dengan kasta dari orang yang mati. Pada umumnya Upacara Dipoyan Angin dilaksanakan dengan upacara dipasangbongi namun dengan memotong kerbau lebih dari satu ekor dimana kulit (balulang) salah satu kerbau yang dipotong itu tidak boleh dilepas tetapi diiris bersama dengan dagingnya.Kemudian Tominaa mengucapkan untaian kata dari atas menara daging (Bala’kayan Duku’) yang mengungkapkan kesetiaan dari keluarganya serta kematian dari si mati dan diyakini bahwa arwahnya dapat diterima dengan wajar di alam baka atau Puya
2. Upacara Mangrambu Tampak Beluak, yaitu suatu upacara pemakaman dimana hanya ujung rambut atau kuku dan pakaian dari jenasah yang dibungkus, sedangkan jenasahnya dikuburkan jauh dari negerinya. Menurut keyakinan Aluk Todolo bahwa dengan adanya ujung rambut atau kuku, maka hal itu sama dengan jenasah aslinya dan diupacarakan sesuai dengan tingkatan kasta dari orang yang mati tersebut.Sering juga pihak keluarga pergi mengambil jenasah itu dengan menggali tulang belulang jenasah dan dibawa ke negerinya untuk diupacarakan. Pada saat menggali tulang belulang tersebut yang dinamakan Mangkaro batang Rabuk, maka harus diganti dengan menguburkan satu ekor hewan yang biasanya ayam atau babi.
Dengan memperhatikan pemakaman cara demikian di atas bahwa menurut keyakinan Aluk Todolo, setiap manusia harus diupacarakan kematiannya atau pemakamannya sekalipun jenasah tidak ada. Hal ini karena menurut Aluk Todolo, setelah manusia meninggal maka rohnya akan menjadi Tomembali Puang yang akan memberi berkat kepada keturunannya
PROSES UMUM RAMBU SOLO'
1. Ma’dio’ Tomate yaitu orang yang baru mati lalu diberi pakaian kebesarannya dan perhiasan pusaka yang dihadiri oleh keluarga. Pada saat itu dipotong seekor kerbau atau babi bagi Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi, dan dagingnya dibagikan kepada keluarga yang hadir. Mulai saat itu sampai pelaksanaan upacara Rambu Solo' jenasah masih dianggap orang sakit atau To Makula’.
2. Ma’doya yaitu sebagai acara pertama dalam Rambu Solo' yang dikatakan Mangremba’ dengan sajian seekor ayam yang disembelih dengan memukulkan kepala ayam. Saat itu jenasah sudah dianggap orang mati atau Tomate
3. Ma’balun yaitu jenasah dibungkus dengan kain kafan (Dibalun) karena baru dianggap sebagai orang mati. Bungkusan mayat berbentuk bulatan dan yang membungkus mayat adalah petugas khusus yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo
4. Ma’bolong dimana secara resmi keluarga dinyatakan Maro’
5. Meaa yaitu proses pengantaran jenasah ke liang kubur yang sejalan pula dengan Ma’palao sampai mayat dimasukkan de dalam liang yang disebut Ma’peliang.
6. Kumande yaitu acara dimana orang Maro’ sudah boleh makan nasi. Rentetan acara Kumande ini adalah Ussolan Bombo atau manglekan.
7. Untoe Sero yaitu satu acara dengan kurban mengakhiri upacara Rambu Solo' dan dilakukan di liang yang maksudnya hubungan antara yang mati dengan orang hidup tidak ada lagi.
8. Membase (membersihkan) yaitu upacara dari keluarga yang baru selesai mengadakan Rambu Solo' dengan mengadakan kurban di atas Tongkonan yang maksudnya sudah lepas dari ritual Rambu Solo' dan sudah boleh melakukan Rambu Tuka'.
9. Pembalikan Tomate, yaitu menempatklan arwah menjadi Tomembali Puang
Semua proses di atas adalah proses umum pada Rambu Solo' namun setiap daerah adat mempunyai cara atau penambahan tersendiri. Upacara khusus yang merupakan upacara yang tidak mengikat waktu dan keharusan adalah Ma’nene’ yaitu upacara peringatan arwah leluhur atau Tomembali Puang saat keluarga mendapat berkat. Upacara ini berbeda-beda untuk tiap daerah adat tetapi maksud dan tujuannya sama.
Selasa, 17 Maret 2009
KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA DI TANA TORAJA – SULAWESI SELATAN
DI TANA TORAJA – SULAWESI SELATAN
Oleh : Den Upa Rombelayuk
Pendahuluan
Kedaulatan komunitas masyarakat asli yang tersebar di seluruh Nusantara sudah ada sejak ribuan tahun bahkan kalau boleh dikatakan sejak manusia mendiami bumi persada ini. Kehadiran manusia dalam bentuk komunitas telah ada, serta melangsungkan aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan di seluruh Nusantara dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Melalui proses jangka waktu yang sangat panjang terjadi interaksi sosial antar anggota komunitas serta interaksi dengan lingkungan fisiknya secara runtut dan melembaga sedemikian rupa, sehingga terbangun suatu satuan kemasyarakatan yang mandiri yang mempunyai sistem nilai tersendiri dengan perangkat hukumnya yang dibangun oleh komunitas itu sendiri. Komunitas tersebut mandiri dan berdaulat dalam arti kemampuan keberadaan komunitas melalui proses sosialisasi nilai dan tradisi yang dilakukan dari generasi ke generasi.
II. Kelembagaan Adat
Proses perkembangan serta pola interaksi sosial baik antar anggota komunitas maupun antar komunitas dapat mengancam kemandirian atau eksistensi kedaulatan komunitas itu sendiri. Reaktualita dalam menghadapi situasi perubahan dibutuhkan suatu pengorganisasian agar fungsi-fungsi politik, ekonomi dan hukum dapat berjalan sebagai pilar kemandirian atau kedaulatan. Fungsi-fungsi tersebut perlu diemban dan dikawal oleh satu organisasi yang dibangun dan disepakati oleh masyarakat melalui kontak sosial atau kesepakatan melalui musyawarah yang awalnya merupakan embrio dari kelembagaan adat dalam komunitas atau yang lazim di sebut Masyarakat Adat.
Keberadaan lembaga adat dalam Komunitas harus diakui dan diterima oleh seluruh anggota komunitas yang memungkinkan adat-istiadat serta tradisi semakin mapan serta tumbuh berkembang secara dinamis dalam menghadapi perubahan dari waktu ke waktu. Silsilah tersebut diakui dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini.
Identifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongeng rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (Kada Tomina) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara-upacara adat. Penamaan Komunitas dengan Tongkonan atau Lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tanah tempat bermukim.
III. Basse Atau Kontrak Sosial
Bangunan yang dibuat oleh masyarakat sebagai upaya pemberdayaan komunitas dalam mempertahankan kedaulatannya yang lazim disebut Lembaga Adat. Lembaga tersebut sebagai wadah musyawarah untuk membuat aturan-aturan adat yang dipimpin oleh seorang Pemangku Adat. Oleh karena pada asasnya jiwa demokrasi dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adat diwujudkan dalam bentuk musyawarah yang demokratis (Tudang Sipulung Bugis, Kombongan Toraja).
Pada prinsipnya di setiap komunitas asli atau masyarakat adat bangunan kelembagaan dengan perangkatnya diangkat dan disetujui oleh masyarakat melalui suatu perjanjian untuk menjamin kedemokrasiaan dan kepentingan umum yang diwujudkan melalui suatu upacara yang bermakna sebagai sumpah/kontrak sosial (Basse). Umumnya dalam komunitas tersebut setiap kesepakatan harus diresmikan atau dilegitimasi melalui upacara adat yang maknanya sebagai kontraksosial yang mengikat dengan sanksi sehingga oleh masyarakat Sulawesi Selatan khususnya Toraja disebut sebagai Basse.
Adanya Pemangku Adat dengan konsekuensi terciptanya birokrasi dalam komunitas dapat merupakan ancaman terhadap nilai demokrasi komunitas terutama dalam pengambilan keputusan. Sepanjang pengetahuan kami awal bangunan atau pembentukan dalam perjalanan antar waktu terjadi pergeseran nilai yang menyebabkan kepemimpinan dipertahankan dalam komunitas melalui memfungsikan atau melembagakan musyawarah disepakati. Melembagakan musyawarah dan Basse dalam masyarakat atau komunitas merupakan pilar demokrasi yang sekaligus mengawal keberlangsungan hidup komunitas itu sendiri dalam mengadapi berbagai macam perubahan atau ancaman.
IV. Aspek Kesejarahan
Tondok lepongan bulan tana matari allo artinya Negeri sebulat bulan purnama, tanah yang bersinar bagaikan matahari yang terletak dipegunungan bagian tengah Sulawesi didiami oleh berbagai komunitas yang berasal dari satu usul keturunan. Salah satu suku tersebut adalah Toraja.
Toraja sebagai studi kasus karena merupakan salah satu suku tertua dan mempunyai sejarah yang dapat diindentifikasi mulai dari awal sampai sekarang. Sejarah adalah suatu cerita dari realitas masa lampau atau dengan kata lain sebagai upaya menyusun gambar tentang kejadian masa lalu yang punya kaitan sampai kini. Bukti yang dapat ditelusuri adalah bahwa setiap orang Toraja dapat menyelusuri silsilahnya dari 19 generasi bahkan ada yang dapat menelusuri mulai dari Banua Puan atau dari Puang Tamboro Langi.
Silsilah tersebut diikuti dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini.
Indentifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongen rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (kada Tominaa) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara adat. Sebagai suku menetap, maka sejarah suku asli khususnya Toraja mempunyai kaitan dengan ekosistem alamnya yang menghasilkan budaya serta mempengaruhi aturan-aturan adat. Penamaan komunitas dengan Tongkonan atau lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tana tempat bermukim.
V. Legenda To Lembang
Sebagai suku yang tertua nenek moyang suku-suku di Sulawesi bagian Selatan dan Tengah dapat dimulai dari sebuah Legenda To Lembang artinya orang perahu. Ribuan tahun yang lalu datanglah sekelompok manusia dalam beberapa perahu dan mendarat di sebuah pantai bernama Bungin sekarang di daerah Kab. Pinrang. Setelah mendarat mereka berupaya mencari tempat ketinggian dan akhirnya sampai ke suatu tempat bernama Rura di kaki Gunung Bamba Puang sekarang termasuk Kec. Alla Kab. Enrekang.
Di tempat tersebut mereka membangun permukiman namun polanya mengikuti bentuk dan struktur yang diwarisi semasih berada di atas perahu. Sehingga terbentuk komunitas-komunitas yang warganya berdasarkan para penghuni di masing-masing perahu. Inilah komunitas pertama yang dinamakan To Lembang (orang perahu). Pembagian kerja serta tanggung jawab diatur mengikuti semasih mereka berada berada di perahu seperti To Bendan Paloloan (Jurangan), To Massuka (Juru Masak), Bunga Lalan (Juru Batu) dan Takinan Labo (Pasukan). Oleh karena itu bentuk rumah Toraja menyerupai perahu dan selamanya menghadap dari selatan ke utara.
1. Visi To Lembang dan Aluksanda Pitunna
Ada 2 (dua) prinsip dasar yang mengatur tata kehidupan To Lembang yaitu :
1.Hubungan antar manusia yang dinamakan Penggarontosan
2. Hubungan manusia dengan sumberdaya alam yaitu Aluk Sanda Pitunna atau Tallu
Lolona.
a. Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :
1.Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)
2.Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah)
3.Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling
membutuhkan).
b. Visi Tallu Lolona Aluksanda
Konon To Lembang dari daerah asalnya dibekali aturan yang dinamakan serta
Aluksanda Pitunna, aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya
alamnya
manusia dengan dalam komunitas (Sang Lembang). Filosofi Aluk Sanda Pitunna
adalah “Tallu Lolona,” artinya bahwa di atas bumi persada terdapat 3 (tiga)
unsur kehidupan yang tumbuh dan berkembang biak,saling hidup-menghidupi
yaitu :
1.Lolo Tau (manusia)
2.Lolo Patuoan (hewan) dan;
3.Lolo Tananan (tumbuhan)
Ketiga unsur ini saling berkaitan yang diatur melalui Aluk Sanda Pitunna.
VI. Penyebaran Komunitas To Lembang Ke Seluruh Sulawesi
Maka tersebutlah kisah bahwa pada suatu ketika ada Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) yang berusaha dengan berbagai macam siasat untuk mempersatukan dan menguasai komunitas yang ada. Dengan berbagai macam akal dan cara, maka diselenggarakan Upacara Adat besar yang dinamakan MA’BUA. Sebenarnya menurut aturan adat upacara tersebut dilakukan melalui keputusan musyawarah dengan upacara memotong babi. Namun upacara Mabua tersebut tidak melalui musyawarah atau Kombongan atau tujuannya untuk meligitimasi kekuasaannya, maka Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75).
Maka bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara. Kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan.
Mereka membentuk komunitas baru dengan aturan-aturan yang sesuai dengan kondisi fisik di lokasi permukiman baru serta pola hubungan sosial pasca Londong di Rura. Didirikan rumah adat tempat pertemuan yang dinamakan Tongkonan artinya Balai Musyawarah. Tongkonan tersebut diberi nama Banua Puan artinya Rumah yang berdiri tempat yang bernama Puan. Tongkonan tersebut merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang). Lembang tersebut membuat struktur dan aturan-aturan yang disepakati bersama melalui Kombongan yang diselenggarakan di Rumah Tongkonan. Kombongan inilah yang merupakan Lembaga pengambil keputusan tertinggi. Kewenangan Kombongan diberi arti dengan ungkapan Untesse Batu Laulung (kombongan dapat memecahkan batu pualam).
Komunitas To Banua Puan yang dinamakan Lembang dengan struktur kelembagaan adatnya merupakan embrio kelembagaan dan Lembang yang pertama di Toraja dan tempatnya dapat kita buktikan di kaki Gunung Kandora Desa Tengan Kec. Mengkendek. Dari Tongkonan tersebut menyebarlah ke seluruh Tana Toraja serta membawa adat dan budaya serta pola To Banua Puan di setiap tempat senantiasa terbentuk komunitas dengan basis Tongkonan di atas wilayah tertentu. Jadi dapat dilihat bahwa penamaan Lembang dengan Lembaga Tongkonannya senantiasa dikaitkan dengan sumberdaya alamnya khususnya tanah sangat mempengaruhi pola pergaulan dan aktivitas sosial dalam Komunitas Lembang.
VII. Aluksanda Saratu
Masa To Manurun atau orang yang diturunkan dari kayangan. Setelah berlangsung beberapa generasi dimana manusia mulai berkembang dengan diiringi oleh terbentuknya Lembang baru. Hal ini mulai menimbulkan persaingan dan pertikaian antar kelompok. Karena Aluk Sanda Pitunna hanya mengatur intern kelompok, maka tidak dapat lagi mengatur hubungan antar Lembang. Maka oleh dewa diturunkanlah Aluk Sanda Saratu aturan serba seratus yang mengatur hubungan antar komunitas atau antar lembang. Prinsip dasar adalah persatuan dan kesatuan dengan motto “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate.” Strategi sebagai pintu masuk adalah dengan pengembangan sejarah dan ikatan silsilah kekeluargaan antar Tongkonan yang menggambarkan kesatuan asal keturunan dan persamaan nasib. Seluruh wilayah permukiman To Lembang dikoordinir dalam satu kesatuan yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo. Dibentuk Forum Koordinasi yang mengatur tata hubungan antar lembang dan penyelesaian sengketa antar Lembang yang dinamakan Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan.
Aturan tersebut tidak dapat berjalan karena tidak ada yang menjalankan atau tidak ada satupun dari Lembang yang ada dan mampu mengkoordinir. Oleh karena itu diturunkanlah dari langit Puang Tamborolangi dan mendarat di Puncak Gunung Kandora sebagai pelaksana aturan Sanda Saratu. Puang Tamboro Langi inilah yang merupakan nenek moyang raja-raja di Sulawesi khususnya di Selatan, Tengah dan Tenggara.
Apabila dikaji secara mendalam maka makna dari cerita tersebut adalah “bahwa eksistensi raja atau pemimpin di Toraja diturunkan dari khayangan untuk melaksanakan peraturan demi kepentingan masyarakat,” jadi peraturan Sanda Saratu bukan untuk kepentingan raja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bila tidak dapat mengemban tugas, maka raja diturunkan oleh dewa melalui Kombongan Kalua. Kombongan Kalua sebagai alat dari Dewa berarti suara rakyat peserta kombongan diindentikkan dengan suara Dewa atau dengan kata lain adalah dewa dan keputusan Kombongan Titah Dewa.
Upaya dan proses perkembangan tersebut di atas dimana komunitas dengan kelembagaan adatnya yang terbangun dari dan oleh mereka sendiri melalui musyawarah menciptakan suatu organisasi yang dinamis, mapan dan dapat menghadapi perubahan-perubahan.
Berasal dari sejarah asal-usul dan tradisi setempat dimana proses waktu serta dinamika pola interaksi sosial antar anggota komunitas serta dengan alam lingkungannya menghasilkan berbagai keragaman komunitas. Keragaman budaya, sistem pemerintahan, sistem hukum serta kearifan tradisional sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas. Dapat dipahami bila sebelum Pemerintahan Kolonial didapati berbagai ragam komunitas-komunitas yang berdaulat. Keragaman dalam tradisi, sejarah, adat-istiadat sistem pemerintahan merupakan kekayaan budaya bangsa yang diakui melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Di Toraja Komunitas Lembang diikat melalui semboyan “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada di Pomate Lan Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo.”
VIII. Keterancaman Nilai Demokrasi dengan Kedatangan Tomanurun
Disisi lain keturunan Puang Tambora Langi sebagai pelaksana Aluk Sanda dalam perkembangannya memposisikan dirinya menjadi supra struktur di atas komunitas yang merupakan cikal bakal terbentuknya strata sosial, feodalisme atau pemerintahan kerajaan. Harapan semula untuk menjadi juru damai antar komunitas dalam perjalanan sejarahnya terpaksa mencari basis kekuasaan yaitu terbentuknya lembaga supra di atas komunitas yang dibeberapa tempat dilegitimasi melalui Kombongan Kalua antar Komunitas antara lain Sanggala yang digelar Limbu Apana dan To Sereala Penanianna (gabungan empat Komunitas adat besar yang terdiri dari 12 komunitas basis). Penguatan kelembagaan adat dan dapat dilihat di Sanggala dengan terbentuknya Kelembagaan Kombongan Kalua To Maduang Salu (rakyat banyak) yang mengontrol kelembagaan Supra Komunitas.
Oleh karena hasil Kombongan Kalua, maka nilai dan struktur kelembagaan tersebut bertahan terus dan dihormati oleh masyarakat sampai dikeluarkannya UU/5/79. Sanggala dijadikan kecamatan dan lembaga adat dibuat tidak berfungsi dan tidak berdaya.
IX. Struktur Kelembagaan
Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.
Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :
*Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang
*Ada pemimpin atau yang dituakan dan;
*Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse
batu mapipang).
Di Tana Toraja terdapat 32 Masyarakat Adat yang mandiri dan mempunyai aturan masing-masing yang berbeda. Namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sanglepongan Bulan Tana Matari Allo (bundar bagaikan bulab purnama bersinar bagaikan matahari pagi). Diikat oleh nilai yang diwarisi dan leluhur yang sama.
Kasus Naggala Sebagai Kajian
Salah satu contoh Masyarakat Adat Nanggala atau Lembang Nanggala yang digelar To Annan Karopina Na Lili Misa Babana artinya kesatuan enam wilayah yang diikat melalui satu pintu.
Sebelum pemerintahan Belanda, Nanggala merupakan satu Komunitas yang berdaulat dengan sumber daya alamnya dalam bentuk Hutan seluas ± 20.000 Ha dan persawahan seluas ± 900 Ha. Tahun 1908 Lembang Nanggala diresmikan menjadi Distrik Nanggala yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik yang digelar Parenge.
Seluruh sistem dan struktur pemerintahan adat diakomodasikan dalam sistem pemerintahan Kolonial. Penyesuaian tersebut dapat dilihat pada Karopi dijadikan Kampung yang dipimpin oleh seorang yang semula To Parenge kemudian dijadikan Kepala Kampung Lembaga Peradilan Adat dan Kombongan tetap difungsikan.
Tahun 1967 distrik diubah menjadi Desa Gaya Baru namun struktur dan kelembagaan adat tetap dipertahankan. Dengan UU/5/1979 dibentuk desa dan seluruh sistem dan kelembagaan adat dihapuskan menjadi LKMD dan LMD. Kombongan Kalua diubah menjadi Musyawarah Desa sedangkan Kombongan pada tingkat Karopi ditiadakan. Nilai demokrasi Kombongan tergeser dengan demokrasi terpimpin dan dijadikan alat oleh golongan tertentu. UU/22/2001 dengan keluarnya Perda No.II tentang Desa, maka Lembang dibentuk kembali dengan sistem Pra UU/5/2000. Untuk lebih mendalami tentang obyek studi kasus tersebut, maka kami paparkan Sistem Pemerintahan Adat atau Lembang, Struktur kelembagaan yang ada sebelum UU/5/1979.
Wilayah terdiri dari 6 (enam) Koropi dengan enam Lembagaan Adat yaitu Tongkonan dengan pemangku Adat dinamakan To Parenge. Keenam Karopi tersebut adalah :
1.Karopi Kawasik dengan Tongkonan Langkanae dipimpin oleh To Parenge Kawasik.
2. Karopi Rante dengan Tongkonan Tondok Puang di pimpin oleh To Parenge Rante.
3.Karopi Basokan dengan Tongkonan Belolangi di pimpin oleh To Parenge Basokan
4.Karopi Nanna dengan Tongkonan Buntu dipimpin oleh To Parenge Nanna
5.Karopi Alo dengan Tongkonan Dalonga dipimpin To Parenge Alo dan;
6.Karopi Barana dengan Tongkonan Sendana dipimpin oleh To Parenge Barana.
Keenam To Parenge tersebut di atas dinamakan Parenge Petulak (penopang atau pilar).
Struktur Kelembagaan
Tongkonan tertinggi yang merupakan dwitunggal yaitu Lumika dan Pao dengan Pemangku Adat To Dua (dwi tunggal). Kekuasaan meliputi Sang Nanggalaan Na Lili Misa Banana. Tongkona Petulak (penopang) terdapat enam masing-masing di Karopi yang dipimpin oelh To Parenge sebagaimana tersebut di atas.
Disamping itu terdapat Tongkonan yang fungsional yaitu ;
*To Sikuku pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan
*Ne Bala Tua keagamaan dan melaksanakan upacara apabila terjadi pelanggaran adat.
*To Bamba Bunga lalan yang menentukan waktu turun sawah dengan ilmu perbintangan.
Posisi To Dua
*Penguasa seluruh Nanggala Tongkonan Layuk (Tongkonan tertinggi)
*Mengatur serta mengayomi aturan adat yang disepakati oleh Kombongan
*Menyelesaikan peselisihan antar To Parenge Petulak (Karopi)
*Hubungan dengan Madat tetangga atau pemerintahan formal
*Memimpin Kombongan Kalua seluruh Nanggala yang menyangkut evaluasi kembali aturan
yang ada, mencabut, mengubah atau membuat peraturan adat yang baru.
*Bertanggung jawab apabila ada pelaksanaan aturan adat yang tidak sesuai dengan
hasil musyawarah.
*Memimpin sidang adat pendamai atas kasus yang tidak diselesaikan pada tingkat
Karopi.
*Menjadi pautan.
To Parenge Karopi
*Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil Kombongan dalam lingkup Karopi masing-masing.
*Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam lingkup Karopi masing-masing
*Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara adat dalam Karopi masing-masing
*Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan gotong-royong lainnya.
*Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio)
Mekanisme Pengangkatan To Parenge
Diseleksi oleh warga berdasarkan garis keturunan dan pengabdian serta penguasaan adat istiadat. Diajukan dalam Kombongan Karopi yang harus dihadiri oleh masyarakat. baru dapat diresmikan.
Hubungan Lembaga Tongkonan Parenge dengan Masyarakat
1.Apabila terjadi perselisihan antar warga dalam Karopi, maka Tongkonan dan To Parenge wajib dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya melalui sidang adat pendamai yang diselenggarakan di Tongkonan.
2.Upacara adat yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam wilayah Karopi yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya adalah Toparenge sedangkan yang punya upacara hanya menyediakan bahan pengerahan tenaga dan pengaturannya dan pelaksanaannya mennjadi tanggungjawab To Parenge bersama Pemangku Adat lainnya. Andaikata ada sesuatu yang tidak beres, maka bukan yang punya upacara yang bertanggung jawab tetapi To Parenge.
3.Penyelesaian pelanggaran adat yang merugikan masyarakat melalui adat pendamai.
4.Mengatur dan menyelesaikan pembagian warisan anggota masyarakat apalagi yang menyangkut tanah (lihat lampiran).
X. Kombongan sebagai Pilar Demokrasi dalam Lembang
Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang dinamakan Kombongan.
Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan Kombongan yaitu “Untesse batu mapipang” artinya dapat memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan merupakan adat.
Prinsip tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, “Kada Rapa dan Kada Situru” (kesepakatan dan persetujuan) yaitu :
*Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan
*Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
*Kombongan Karopi dalam tiap Karopi
*Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi
Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung), kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di Tana Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.
Kombongan kalua sang lembangan, kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.
Musyawarah Kombongan Kalua dalam pengambilan keputusan berdasarkan keterwakilan oleh To Parenge karena asumsi bahwa sudah ada proses di tingkat Karopi sebelum terjun ke Kombongan Kalua. Seluruh keputusan dalam Kombongan Kalua dibacakan kembali oleh To Dia dan akhiri dengan upacara Potong Babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti apabila ada yang mengingkari hasil Kombongan, maka tulang babi akan menyumbat lehernya dan bulu dari babi akan menusuk perut sehingga hasil kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Besse atau sumpah.
Hasil Kombongan Kalua disosialisasikan kembali oleh To Parenge atau pemuka adat yang biasanya dilakukan pada saat upacara adat dan mengikat seluruh warga Lembang sang Nanggalaan.
Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga biasanya kombongan menjadi ajang Pengadilan To Parenge, namun karena kedudukan To Parenge serta mekanisme pengangkatannya melalui usulan keluarga, maka sukar dijatuhkan namun To Parenge dapat dikenakan denda atau didosa. Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. Apabila ada yang tidak dapat diselesaikan atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya, maka akan diajukan ke Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya menunjuk beberapa pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat.
Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkit aturan lokal dalam wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan. Segala keputusan Kombongan diketahui oleh To Parenge dan yang tidak terselesaikan di bawa ke Kombongan Karopi.
XI. Ciri- Ciri Khusus
1.Suku Toraja adalah penduduk menetap. Interaksi dengan alam lingkungannya sangat menentukan pola hubungan sosial dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Ciri tersebut mempengaruhi bentuk komunitas yang bernuansa kebersamaan dan demokratis.
2.Oleh proses sejarah yang panjang dan dituntut sampai sekarang, maka budaya hidup berkelompok dalam satu komunitas di atas wilayah yang tetap merupakan ciri khusus masyarakat suku Toraja.
3.Kombongan sebagai wadah musyawarah merupakan lembaga yang tertinggi. Segala sesuatu aturan yang menyangkut publik harus diputuskan melalui Kombongan. Pengambilankeputusan tanpa musyawarah atau otoriter baik oleh pemerintah ataupun oleh Pemangku Adat tidak pernah ditaati atau dilaksanakan oleh masyarakat. Istilah To Makada Misa (otoriter) tidak pernah diterima oleh masyarakat Toraja.
4.Faktor sejarah dan silsilah Lembang tempat asalnya merupakan kebanggaan masing-masing masyarakatnya.
5.Faktor hubungan keluarga yang legitimasi melalui sejarah dan silsilah merupakan tali pengikat yang dapat merupakan salah satu sarana penyelesaian konflik.
Strategi dan pintu masuk dalam rangka penguatan adalah melalui komunitas Lembang atau kelompok dan bukan individu. Pengungkapan sejarah serta nilai adat masing-masing Lembang merupakan alat komunikasi yang efektif dengan masyarakat.
Di Tana Toraja menurut Kruyt dan Andriani terdapat 32 Recht Gemeinschaft yang sekarang ini disebut Masyarakat Adat. Oleh pemerintahan kolonial Belanda ke-32 Rechtgerneinschaft dijadikan distrik yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Distrik membawahi Karopi yang dinamakan Kampung dipimpin oleh To Parenge Kanopi yang diubah namanya menajdi Kepala Kampung. Jadi ada kejelian dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk menjadikan adat sebagai pintu masuk, sedangkan mekanisme Kombongan dan fungsi Tongkonan tetap dipertahankan.
Proses ini dimulai sejak tahun 1908-1979 dengan ditetapkannya UU/5/1979 dimana semua kelembagaan adat serta sistemnya diubah dan diganti dengan LKMD dan LMD. Dengan keluarnya UU/22/1999, maka berdasarkan Perda DPRD No.2/2001, maka desa tersebut dihapus dengan mengembalikan sistem pemerintahan Lembang sama sebelum UU/5/1979.
XII. Kesimpulan
1.Sebagai suku yang menetap maka faktor sejarah, budaya dan adat merupakan pengikat dan pemersatu dalam menghadapi dinamika sosial yang berkembang dan berubah-ubah.
2.Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sekaligus sebagai wadah dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dalam masyarakat sehingga memberikan nilai tersendiri sebagai adat yang dinamis dan perlu ditumbuhkembangkan dari ketersisihan sebagai akibat dari UU/5/1979.
3.Namun aktualita dampak perkembangan pembangunan dan dinamika perubahan sosial yang tidak disikapi secara konkrit, mengakibatkan terjadinya proses perubahan nilai pada generasi muda sehingga dapat menciptakan manusia tanpa identitas atau tercabut dari akarnya.
XII. Rekomendasi
1.Kurun waktu 32 tahun telah meluluhlantarkan adat dan budaya suku atau Komunitas Adat di seluruh Indonesia dan khususnya kelembagaan Kombongan yang dieleminasi melalui LKMD dan LMD.
2.U/22/1999 sebagai salah satu peluang untuk mengembangkan kembali demokrasi dan pola hubungan sosial melalui pembentukan desa adat.
3.UU/22/1999 mendapat banyak kendala oleh karena sudah terjadi pergeseran nilai dikalangan masyarakat terutama antara generasi tua dan muda. Untuk itu diperlukan kerja keras melalui identifikasi dan revitalisasi hukum adat dalam tiap komunitas adat.
4.Memberdayakan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagi pintu masuk yang strategis agar menerapkan mekanisme sistem musyawarah Kombongan yang demokratis.
5.Mengakomodasi dan memberdayakan kelembagaan adat atau masyarakat yang masih diterima dan hidup dalam masyarakat.
6.Perlu rencana tindak lanjut dari hasil Pertemuan Forum I
ADAT MA' BARATA (PENGURBANAN MANUSIA) DALAM UPACARA RAMBU SOLO' DI TANA TORAJA
ADAT MA' BARATA (PENGURBANAN MANUSIA) DALAM UPACARA RAMBU SOLO' DI TANA TORAJA | for everyone |
Adat Ma’ Barata (pengurbanan manusia) pada upacara Rambu Solo’ yang masih berlaku sampai masuknya Pemerintah Kolonial Belanda, adalah salah satu adat yang diadakan sebagai penghormatan serta sebagai tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang Topadatindo dan perang saudara pada permulaan abad ke-17. adat Ma’ Barata Bulan bukanlah aluk dalam Aluk Todolo, tetapi hanya sebagai adat sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.
Adat Ma’ Barata ini hanya sebagai :
1. Tanda penghormatan kepada seseorang pahlawan yang telah mempertahankan kedaulatan negerinya dan kehormatan keluarganya serta masyarakatnya.
2. Tanda penghormatan kepada seseorang yang mati dalam peperangan terutana dalam perang saudara dahulu di Toraja.
3. Tanda penghormatan kepada seseorang yang berjasa.
Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dan seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu (batu tugu peringatan pada ups Rapasan yang berdiri di tengan Rante), menunggu saatnya dipancung. Kurban Barata ini boleh saja laki – laki atau wanita yang ditangkap saat perang atau jika tidak ada perang maka ditangkap dengan cara Mangaun (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo. Menurut kesepakatan Topadatindo yang dipegang oleh penerusnya, yang menjadi korban Barata adalah tawanan dalam perang atau orang – orang yang tidak ikut dalam persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yang berasal dari daerah Karunanga, suatu daerah yang terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yang selalu menjadi buronan pada setiap saat adanya rencana adat Barata, itupun melalui pertarungan karena orang yang diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.
Oleh karena sering terjadi perkelahian yang hebat dalam menangkap Kurban Barat, maka sering Kurban Barata itu tak dapat ditangkap dengan hidup-hidup dan kurbannya ditangkap dengan mati, terpaksalah hanya mengambil kepala dari pada kurban itu dan dibawah ketempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yang mati ini sudah dikurbankan Manusia untuknya sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya. Orang yang diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To di Pa’barataan.
DAFTAR NAMA TO PADATINDO, TOMISA’ PANGIMPI
UNTULAK BUNTUNNA BONE
ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA
(Melawan Invasi Bone setelah mereka mengadakan Kombongan di Pata’padang, Sarira)
- Pong Kalua’ (Penaa Batu Laulung) Randan Batu
- Sanda Kada (Rangga Lila) Limbu
- Pong Songgo (Bandangan Matipa) Limbu
- Karasiak Madandan
- Lando Aak Boto’
- Batara Langi’ Boto’
- Ambabunga’ Bombongan
- Pong Boro Tua Maruang
- Tumbang Datu Bokko
- Patobok Tokesan
- Kondopatalo Lampio
- Paliun Batualu
- Pagonggang Batualu
- Bongi Batualu
- Ne’ Lello Leatung
- Tomorere’ Gantaran
- Palondongan Simbuang
- To Gandang Sarapung
- Pagunturan Bebo’
- Tikuali Ba’tan
- To Bangkudu Tua Malenong
- Takia’ Bassi Angin-Angin
- Patabang Bunga’ Tadongkon
- Salle Karurung Paniki
- Kattu Buntao’
- Palinggi’ La’bo’
- Sa’bu’ Lompo Bonoran
- Ne’ Pirade Tonga
- Patasik / Pong Tasik Pao
- Ne’ Malo’ Tondon
- Poppata’ Nanggala
- Patora Langi’ Langda
- Ne’ Patana Kanuruan
- Bannelangi’ Kadundung
- Tibaklangi’ Saloso
- Ne’ Kalelean Rorre
- Banggai Salu
- Songgi Patalo Lemo
- Arring lan di Deata Mandetek
- Lunte Mariali
- Rere’ Lion
- Saarongre Tondok Iring
- Baanlangi’ Lapandan
- Marimbun Bungin
- Panggeso Tiromanda
- Sando Pasiu’ Pasang
- Tolanda’ Santung
- Bangke Barani Manggau
- Parondonan Ariang
- Sundallak Burake
- Panggalo Lemo Pa’buaran
- Bara’padang Gandang Batu
- Pong Arruan Sillanan
- Pong Dian Tinoring
- Tobo’ Tampo
- Pong Barani Marinding
- Pong Turo Baturondon
- Puang Balu Tangti
- Kulu-kulu Langi’ Palipu’
- Darra Matua Tengan
- Sarangnga’ Lemo Mengkendek
- Tanduk Pirri’ Ala’
- Pokkodo Tagari
- Kundubulaan (Mendila) Sa’dan
- Pangarungan Tallunglipu
- Taruk Allo Tallunglipu
- Tengkoasik Barana’
- Ne’ Rose’ Sangbua’
- Lotong Tara Bori’
- Allopaa Kayurame
- Rongre Langi’ Riu
- Tangkedatu Buntu Tondok
- Tolangi’ Pongsake
- Mendila Kila’ Rongkong
- Ne’ Darro Makki’
- Ne’ Mese’ Baruppu’
- Sarungngu’ Pangala’
- Bongga Pangala’
- Usuk Sangbamban To’tallang
- Ambe’ Bando’ Awan
- Ledong Bittuang
- Patikkan Bambalu
- Gandanglangi’ Mamasa
- Ne’ Darre Manipi
- Pong Rammang Piongan
- Tandiri Lambun Tapparan
- Batotoi Langi’ Malimbong
- Tandirerung Ulusalu
- Pakumpang Sangalla’/Buntao’
- Pong Manapa’ Se’seng
- Tokondo’ Buakayu
- Mangngi’ Rumandan Rano
- Mangape Mappa’
- Pappang Palesan
- Batara Bau Bau
- Pong Bakkula’ Redak
- Tangdierong/Todierong Baroko
- Bonggai Rano Balepe’
- To Layuk Simbuang
- Patittingan Talion
- To Isangan Tanete (Rano)
- Sodang Ratte Buakayu
- Lapatau Tombang Mappa’
- Torisomba Garappa’ Mappa’
- Sege’ Bassean Endekan
- Mangopo Sima Simbuang
- Ponipadang Makkodo Simbuang
- BAlluku’ Batutandung Mamasa
- Massanga Pana’ Mamasa
- Karrang Bulu Mala’bo’ Mamasa
- Buranda Tondon Kuang Batualu
- Sombolinggi’ To’Katapi Papa Tallang Batualu
- Agan Buntu Doan Batualu
- Sanggalangi’ Pantilang
- Talibarani Bokin
- Pong Sussang Ke’pe’ Ranteballa
- Paressean Karre
- Emba Bulaan Sikapa Ranteballa
- Arrang Bulawanna Lemo Ranteballa
- To Pajaoan Kandeapi Ranteballa
- Puang Direngnge’ Tabang Ranteballa
- Bakokang Lantio Ranteballa
- Pakabatunna Sesean
- Ne’ Bulu Tedong Pangala’
- Ne’ Tulla’ Kapala Pitu
- Padondan Tikala
- Bangkele Kila’ Akung
- Galugu Dua Balusu
- To Kalu Endekan
- To Layuk Baroko
- Mara’biang Bebo’
- Pabidang Buakayu
- Masuang Tangsa
- Pauang Malimbong
TINGKATAN RAMPANAN KAPA'
(Toraja dan Kebudayaannya / Edisi III / L. T. Tangdilintin / Yalbu / 1978)
Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam) ekor kerbau Sangpala’.
Demikianlah maka perkawinan itu dilakukan dalam 3 cara. Hai itu ditentukan oleh kemampuan dari yang mengadakan perkawinan dan ketiga cara ini tidak dititikberatkan pada adanya tana’ atau dengan kata lain cara kawin ini ditentukan saja oleh waktu perkawinan dan karena itu maka dikenallah tiga macam waktu serta menjadi pula tiga tingkatan masing-masing:
- Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-aki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
- Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
- Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua .
- Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
- Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
- Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
- Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
- Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan
- Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan Kapa’
- Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan To Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
- Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan damn melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua perempuan.
- Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.
- Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa sirih pinang.
- Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
- Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
- Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan Kapa’, yang jumlah Kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
- Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai Hukum Tana’ yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
- Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa (to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain dari pada dewan adat.
- Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
- Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
- Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
- Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan janda itu.
- Dan lain-lain
Tingkatan Aluk Rambu Tuka' atau Aluk Rampe Matallo
Tingkatan Aluk Rambu Tuka' atau Aluk Rampe Matallo | for everyone |
Adapun tingkatan upacara Rambu Tuka' dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut :
1) Kapuran Pangngan yaitu suatu cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara menghajatkan sesuatu yang kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban persembahan.
2) Piong Sanglampa, yaitu suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan disajikan di suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban persembahan.
3) Ma’pallin atau Manglika’ Biang, yaitu suatu cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya mengakui semua kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan melakukan kurban persembahan selanjutnya.
4) Ma’tadoran atau Menammu, yaitu suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam atau seekor babi yang ditujukan kepada pemujaan Deata – Deata terutama bagi Deata yang menguasai daerah tempat mengadakan kurban persembahan itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika melaksanakan upacara Pengakuan Dosa yang disebut Mangaku–aku.
5) Ma’pakande Deata do Banua (mengadakan kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini berbeda di tiap daerah adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dengan kurban persembahan seekor babi atau lebih sesuai dengan ketentuan dari masing-masing daerah adat. Uapcara ini dilaksanakan di atas Tongkonan karena Tongkonan sebagai tempat hidup manusia yang mengadakan kurban persembahan dan tujuannya memohon berkat atau bersyukur atas kehidupan dari Sang Pemelihara atau Deata-Deata dan juga sebagai tempat menghajatkan kurban persembahan. Ada daerah adat yang menyebut upacara ini sebagai Ma’parekke Para.
6) Ma’pakande Deata diong padang (mengadakan upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor babi atau lebih yang dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang yang mengadakan upacara. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Deata-Deata supaya memberkati seluruh tempat atau Tongkonan tempat orang merencanakan dan mengusahakan kurban persembahan seterusnya serta tempat mendirikan Tongkonan. Ada daerah adat yang menamakannya sebagai Ma’tete Ao’.
7) Massura’ Tallang adalah upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan upacara yang lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini dilaksanakan di depan Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’ Tallang merupakan upacara persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata sebagai Sang Pemelihara dengan kurban beberapa ekor babi, dimana sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi untuk dibagikan menurut adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri upacara tersebut utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo. Upacara Massura’ Tallang ini dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dari satu rumpun keluarga atau boleh juga satu keluarga dalam mensyukuri kebahagiaan keluarga itu, dimana dalam pembacaan Doa dan Mantra Sajian Kurban telah diungkapkan pula keagungan dan kebesaran Puang Matua. Oleh karena itu, upacara Massura’ Tallang berfungsi sebagai upacara pengucapan syukur karena keberkatan dan upacara penahbisan atau pelantikan arwah leluhur yang diupacarakan dengan upacara pemakaman Dibatang atau Didoya Tedong. Dengan selesainya upacara ini, maka arwah dari leluhur secara resmi menjadi Setengah Deata yang disebut Tomembali Puang (Sang Pengawas atau Pemberi Berkat manusia turunannya). Upacara demikian disebut Manganta’ Pembalikan Tomate, dan disebut demikian karena pada upacara ini diaturkan dekorasi hias bermacam-macam pakaian dan perhiasan sebagai lambang dan perlengkapan hidup dari sang leluhur di alam baka.
8) Merok, yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang tinggi dengan kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang Matua yang selalu jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa. Kerbau yang dikurbankan pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam (Tedong Pudu’), karena tidak boleh menyajikan kurban kerbau yang memiliki bintik putih yang dianggap sebagai kerbau yang cacat. Sebelum kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak (Dirok), terlebih dulu kerbau ini Disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne yang isinya menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta kehidupan manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut). Dan pelaksanaan pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau Massomba Tedong, yang mana dalam Massomba Tedong ini diungkapkan tujuan dari keluarga mengadakan upacara Merok.
Adapun maksud dari upacara Merok ini adalah :
- Merok karena keberkatan
- Merok untuk pelantikan atau peresmian arwah seorang leluhur menjadi Tomembali Puang yang upacara pemakamannya dilakukan dengan upacara Rapasan oleh Kasta Tana’ Bulaan. Upacara ini disebut Merok Pembalikan Tomate.
- Merok dalam hubungan dengan selesainya pembangunan Tongkonan yang disebut Merok Mangrara Banua, dan upacara ini hanya bagi Tongkonan yang berkuasa seperti Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk. Pada upacara ini banyak babi yang dikurbankan yang sebagian dibagikan secara adat. Ada beberapa daerah adat yang menyebut upacara ini dengan Ma’bate.
9) Ma’bua’ atau La’pa, yaitu suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua upacara-upacara yang terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang mengadakan upacara Ma’bua’ tersebut. Hal ini karena upacara Ma’bua’ adalah upacara untuk mengakhiri seluruh upacara apapun dalam mensyukuri seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta perlindungan dari Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang.
Upacara Ma’bua’ juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan kehidupan manusia. Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja dan dieluk-elukkan dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus diadakan untuk upacara Ma’bua’ tersebut.
Pada upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai kurban persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau tergantung pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh satu daerah adat atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh masyarakat satu daerah serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut sebagai Bua’ kasalle atau La’pa Kasalle (Bua’=perbuatan, la’pa=kelepasan, kasalle=besar).
Tongkonan dan Mitosnya: Dalam Hubungannya Dengan Kerajaan-kerajaan Dataran Rendah di Sulsel
(Roxana Waterson)
Lakipadada
Laki Padada dalam beberapa silsilah-silsilah adalah seorang cucu lelaki Tamboro Langi', salah satu To Manurun di Toraja paling terkenal. Ayahnya Puang Sanda Boro menikah dengan seorang yang wanita ia temukan di dalam suatu bambu; dia dipanggil Bu'tu ri Pattung (Orang yang muncul dari Bambu) atau Puang Ao' Gading. Dia melahirkan dua anak-anak, seorang putra, Laki Padada, dan seorang putri, Puang Mate Mangura atau Puang Mate Malolo (kedua-duanya nama-nama berarti Gadis yang meninggal saat masih muda). Dengan perasaan sedih pada kematian saudarinya, Laki Padada bepergian mencari-cari rahasia tentang hidup kekal. Perjalanannya pada akhirnya membawa dia kepada kerajaan Goa. Di sini setelah banyak petualangan ia menikah dengan Karaeng Andi Tara Lolo putri Kerajaan Goa.
Dari tiga putra mereka, Pattala Merang, menjadi penguasa Goa (Somba ri Goa) ;yang kedua, Pattala Bunga, menjadi penguasa Luwu' (Payung ri Luwu), selagi yang ketiga, Pattala Bantan, kembali ke Toraja dan menikah dengan Petimba Bulaan,(diceritakan adalah anak atau cucu putri dari Datu Manaek, pendiri dari tongkonan Nonongan). Pattala Bantan pergi ke Sangalla' (Matasak ri Sangalla’) dan menguasai bagian dari Toraja yang dikenal sebagai Tallu Lembangna yang terdiri dari Ma'kale, Sangalla' dan Mengkendek. Kemudian keturunan-keturunan dari Laki Padada dikatakan menikah dengan keluarga dari kerajaan Bone. Hubungan ini masih diakui oleh keluarga-keluarga kerajaan ini.
Talisiba’ba
Kisah lain menceriterakan bagaimana Toraja mengatur tipuan untuk memperdaya Datu Luwu'. Masih berhubungan dengan seorang pahlawan, yang dikenal di Kesu' sebagai Tali Siba'ba, ibunya adalah seekor babi yang liar. Ia mengawini putri dari Luwu' dan dengan diam-diam memasukkan ibunya ke dalam istana di atas loteng kecil. Dia melarang penduduk setempat untuk makan daging babi sebagai rasa hormat padanya. Ini diklaim sebagai alasan mengapa orang-orang Luwu' (yang telah Muslim sejak awal abad yang ketujuhbelas) tidak makan daging babi. Dalam sebuah cerita, akhirnya dia mengubah namanya menjadi Karaenge Dua (yang mulia dari Luwu' dan Toraja).
Bonggakaradeng
Satu cerita hampir serupa berhubungan dengan para putra Bonggakaradeng, suatu pandai besi; tetapi dalam hal ini berhubungan dengan Bugis tepatnya Sawitto (Pinrang sekarang ini), yang berdampingan dengan Toraja Barat dan daerah-daerah Bonggakaradeng dan Simbuang. Bonggakaradeng datang dari Kampung Batu Tandung, dekat Sungai Masuppu.
Ia adalah orang lain yang menemukan istrinya di dalam bambu; namanya adalah Datu Baringan, yang mempunyai saudara seekor ular sanca.Suatu ketika ia berjalan dari dalam hutan setelah berburu, Bonggakaradeng beristirahat di bawah satu pohon uru pada suatu tempat yang disebut Pokka Uru di Buttu Karua (suatu gunung di Simbuang). Ia buang air kecil dekat pohon tumbang, tanpa sepengetahuannya, ia telah menghamili roh seekor babi di dalam pohon itu. Babi melahirkan anak-anak lelaki kembar, Buttu Karua dan Buttu Layuk. Ketika mereka berusia sekitar enam tahun, ibu mengirim mereka untuk mencari ayah mereka, dan mereka datang ke tempat di mana Bonggakaradeng sedang bekerja sebagai pandai besi. Mereka membantu Bonggakaradeng untuk bekerja, tetapi ia menolak. Tetapi selagi ia sedang makan siang di dalam rumah, mereka menyelesaikan semua pekerjaannya. Menurut versi lain, mereka membuat suatu pedang dari emas (la'bo' penai bulawan) yang disebut Tonapa. Pedang ini menjadi suatu pusaka yang terkenal dimana sarung pelindungnya masih bertahan Sawitto, dan mata pedanganya di Simbuang. Pada akhirnya mereka meyakinkan Bonggakaradeng yang terkejut bahwa ia sungguh ayah mereka, dan tinggal untuk sementara waktu, tapi karna kegemaran Bonggakaradeng makan daging babi, mereka kembali dengan perahu menyusuri Sungai Masuppu, mengambil ibu mereka,dan menuju Sawitto, di mana ibu babi pada akhirnya berubah menjadi batu. Mereka membuat sihir di sana, menyebabkan langit gelap kecuali di sekitar rumah mereka sendiri, sampai orang-orang lokal yang memohon suatu penjelasan.
Saudara laki-laki mengatakan bahwa mereka mengembalikan cahaya matahari jika orang-orang itu akan setuju untuk selalu menunjukkan rasa hormat mereka untuk berpantang makan daging babi atau daging segala binatang bahwa mati tanpa disembelih. Dengan demikian Orang Bugis menjadi Muslim, Kemudian keduanya menikah dengan para putri keluarga aristokratis yang besar, dan mempunyai beberapa anak-anak yang menjadi para nenek moyang penting di wilayah itu. Hal ini yang membuat orang di Simbuang seringkali mengatakan: nene' Simbuang, appo Sawitto, atau "Simbuang adalah kakek dan Sawitto adalah cucu". Dengan jelas ini adalah satu usaha untuk menyatakan hak yang lebih tinggi atas Sawitto, yang menarik karena, seperti halnya dalam kasus dari hubungan-hubungan Toraja-Luwu', secara obyektif Sawitto adalah suatu kerajaan lebih tangguh. Menurut Bigalke (1981:25), dari abad 17 ke 19 Simbuang ditarik ke dalam kerajaan kecil ini; Orang-orang Belanda, kemudian memasukkan Simbuang ke dalam wilayah administratif Ma'kale sebagai hukuman untuk Sawitto atas serangannya pada pasukan Belanda.
Bulu Nanga
Di Sa'dan dan Balusu, bagian timur laut dari Toraja yang berbatasan dengan Luwu', dikisahkan tentang pahlawan dari Sa'dan bernama Bulu Nanga. Ketika Bulu Nanga bepergian dengan para pengikut dan para budaknya untuk membeli kerbau liar dan garam di Palopo. Penjaga-penjaga dari Datu dari Luwu' yang melihat dia mandi di dalam sungai danmenarik perhatiannya, melapor kepada Datu Luwu. Bulu Nanga menikah dengan putri Datu itu, dan pedangnya, yang disebut La Karurung, disebut masih bertahan istana pada Palopo.
Sawerigading
Di pihak lain tokoh dalam cerita Toraja diambil dari tokoh Bugis. Satu contoh adalah Sawerigading, ayah La Galigo, dimana petualangannya banyak dikisahkan dalam syair kepahlawanan Bugis dari I La Galigo dan terkenal di Sulawesi (Kern 1989; Andi Zainal Abidin 1974). Cerita ini dilegitimasi oleh penguasa yang berhubungan dengan Luwu’. Contohnya dari Sa'dan Balusu dan Tallu Lembangna. Keturunan dari Tongkonan Galugu Dua di daerah Sa'dan memiliki silsilah enam belas generasi, yang menggambarkan Andi Tendriabeng (Bug.: We Tendriabeng), saudari Sawerigading, menikah dengan Ramman di Langi' dari Tongkonan Punti di Sesean.. Lima generasi kemudian, dua saudara laki-laki, yang kedua-duanya disebut Galugu (Galugu Dua)adalah bagian dari To Pada Tindo (untulak buntuna Bone), menentang invasi oleh penguasa Bone, Arung Palakka, pertengahan abad ketujuhbelas.
Di sebelah selatan, kisah Sawerigading diceritakan oleh Sando Ne’ Tato' Dena' dari Mandetek di Ma'kale (To Minaa Sando atau memimpin imam Aluk To Dolo); dan dari, Indo' Somba, dari Kandora di Mengkendek. Kandora kelihatannya memiliki suatu asosiasi yang kuat sekali dengan Sawerigading, Contohnya dalam wujud suatu lumbung di Potok Tengan berisi batu pusaka, yang disebutkan adalah La Pindakati dari Cina yang menjadi batu, istri Sawerigading yang pertama. Batu pusaka itu dibawa oleh putri La Pindakati Jamanlomo atau Jamallomo, yang menikah dengan Puang Samang dari Gasing (suatu gunung di daerah Ma'kale). Dalam karangan Salombe’, ditekankan Jamallomo, yang adalah keturunan dari Batara Guru, hanya boleh dinikahi oleh keturunan To Manurun. Puang Samang, merupakan keturunan Tamboro Langi', To manurun dari Toraja (yang diklaim di daerah ini turun di Buntu Kandora), Jamallomo kembali bersama Puang Samang ke Toraja, di mana mereka mendirikan Tongkonan Dulang pada Potok Tengan (Salombe' 1975:276-277).
Tongkonan Layuk Pusat Kekuasaan Ampu Lembang di Tana Toraja
- Tongkonan Layuk Suloara di Sesean (Sesean dan sekitarnya)
- Tangdilino’ Banua Puan di Sarimbano Marinding (Keturunannya menjadi penguasa di sebagian besar Toraja sampai Kondo Sapata, Rongkong, Duri)
- Puangri Ranteaa’ di Rangri’ Nanggala (Tondon, Nanggala, Sa’dan, Balusu)
- Marimbun Di Tikala (Tikala, Bori’, Pangala’)
- Gonggangri Sado’ko’ (Talion, Palesan, Malimbong, Tallulembangna Ulusalu, Mappa’, Balepe’)
- Puangri Ullin di Banga (Madandan, Tapparan, Banga, Dende’, Piongan, Kurra, Ulusalu, Bittuang, Balla, Pali)
- Embong Bulan di Tangsa (Gandang Batu, Sillanan, Pa’buaran, Enrekang)
- Batara Kassa’ di Bau (Ollon, Buakayu, Rano, Mappa’, Bau, Simbuang, Palian Mamasa, Tungga’ Enrekang, Padangalla’ Pinrang, Garogo Duri)
- Puang Palodang di Kaero (Sangalla’)
- Puang Bullu Matua di Pantan Makale (Pantan dan sekitarnya)
- Puang Paetong di Otin Mengkendek (Randanan, Mengkendek)
- Puangri Kesu’ (Nonongan, Tikunna Malenong, La’bo’, Randan Batu, Buntao’)
Kopi, Budak dan Senjata Api
Kopi tidak bisa dipisahkan dengan orang Toraja. Bagi masyarakat Toraja, kopi adalah produk komersil yang sangat terkenal sehingga kopi Toraja bisa disandingkan dengan kopi Arabica. Pada tahun 1902, seorang ahli tanaman Belanda, van Dijk, melaporkan bahwa dia menemukan populasi pohon kopi di bagian barat wilayah Sa’dan yang umurnya ditaksir sekitar 200-300 tahun. Dengan demikian, jika Dijk benar, maka asumsi bahwa Belandalah yang membawa kopi ke Toraja menjadi tidak benar karena Belanda baru memperkenalkan kopi ke Sulawesi sekitar tahun 1830-an. Kemungkinannya adalah, bisa jadi kopi diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Bugis Makassar yang juga aktif berdagang sampai ke pasar Rantebua’, pasar Kalambe, pasar Rantepao, dan pasar-pasar lainnya di dataran tinggi jauh sebelum Belanda memasuki wilayah ini.
Karena kopi, terjalinlah jaringan perdagangan yang menghubungkan antara Toraja dan dataran rendah di abad ke-19, bisa jadi juga jauh sebelumnya. Saat itu dikenal Zona Utara yang berpusat di Pangalla’ sebagai pusat produksi kopi dan Segitiga Selatan yang diorganisir Tallu Lembangna (Makale’, Sangalla’ dan Mengkendek) yang terhubung dengan jalur perdagangan ke Luwu ke arah timur dan ke Duri, Kalosi, Enrekang, Sidenreng, dan Pare-Pare ke arah selatan.
Selain kopi, budak juga menjadi “barang” dagangan antara Toraja dan dataran rendah pada masa itu. Perdagangan budak ini lebih disebabkan pada kebutuhan tenaga kerja seiring dengan meningkatnya aktifitas perdagangan. Dengan demikian, kopi dan budak menjadi dua komoditi yang sangat penting dan karenanya harga keduanya bisa merujuk satu sama lain; jika ada perubahan harga kopi, harga budakpun bisa berubah. Dari catatan van Braam Morris, salah seorang gubernur Belanda ketika dia berada di pelabuhan Luwu pada tahun 1888, dia menyaksikan banyak orang Toraja yang dijual murah dan dikirim ke dunia luar.
Sebagai upaya untuk mengontrol perdagangan kopi dan budak serta jaringannya, perdagangan senjata api menjadi bagian dari transaksi yang dilakukan oleh penguasa dan pedagang waktu itu. Tentu saja, ini untuk mempertahankan dominasi mereka atas kopi yang menjadi komoditas penting di perdagangan dunia waktu itu. Untuk tujuan yang sama, aliansi antar tondok (kampung) juga berkembang, demikian pula kerjasama antara pemimpin tondok di Toraja dengan mitra dagang mereka di dataran rendah. Di Palopo sebagai pusat kerajaan Luwu waktu itu, seorang pedagang keturunan Arab yang bernama Said Ali menjalin hubungan kerjasama dengan Pong Tiku yang mengontrol Zona Utara dan Pong Maramba yang menguasai Segitiga Selatan. Said Ali memberikan bantuan senjata api serta bantuan tentara kepada penguasa Toraja sebagai bagian dari pengontrolan perdagangan kopi dan budak.
TARIAN PITU (SISTEM PERADILAN DI TORAJA |
(Tujuh Peradilan Adat Toraja)
Tujuh bentuk peradilan tersebut adalah cara mengadili atau menyelesaikan persengketaan atau pertentangan dari dua pihak yang bersengketa yang tak dapat lagi diselesaikan bersama dengan mempergunakan saksi-saksi dan bukti – bukti yang nyata yang dipergunakan oleh peradilan adat mendamaikan atau menyelesaikan persengketaan, maka diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang bersengketa memilih salah satu dari ketujuh bentuk peradilan yang sudah tertentu itu untuk mengakhiri atau menyelesaikan perselisihan itu serta mendapatkan keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak dari dulu kala memang sudaha daerah adat, yang menurut mitos peradilan pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.
Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan doa berkat dan kekuatan kepada sang Maha Kuasa serta dengan sumpah dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini dilaksanakan.
Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu.
Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang menyaksikannya, dan setelahs elesai ada pihak yang ternyata kalah, maka keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan ditaati keduanya.
Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah mendapat berkat dari Tuhan yang maha Kuasa.
Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas adalah masing-masing:
- Si Pentetean tampo/Siba’ta Tungga’ (perang tanding satu lawan satu), yaitu satu cara peradilan dari Tarian pitu yang paling berat karena perkelahian atau pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan Tombak atau pedang yang tajam, yang dilakukan di atas pematang sawah dimana kiri kanannya digenangi air, atau dengan cara membuatkan satu kurungan dalam bentuk persegi empat yang dipagar kuat-kuat dan kedua orang yang brsengketa mengadu kekuatan dan ketangkasannya dalam kurungan atau gelanggang tersebut. Sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah oleh penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa barang siapa yang tidak benar akan hancur dan kalah dan yang benar tidak akan apa-apa, sesudahnya digiring masuk ke gelanggang dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Pelaksanaan Sipentetean Tampo atau Siba’ta Tungga’ ini dihadiri pula oleh dewan pemerintah adat dimana keduanya mengadakan pertarungan itu, yang dalam waktu beberapa menit saja terjadi kurban dari kedua orang yang bertarung yang ada kalanya seorang kurban tetapia daerah ada pula yang kedua-duanya kurban (gugur). Hasil dari pertarungan itu setelah selesai segera diumumkan oleh dewan adat siapa yang kalah dan siapa yang menang dimana seluruh keluarganya menerima sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan mereka bahwa kebenaran yang berbicara yang dalam masyarakat Toraja dikatakan Ma’pesalu artinya sesuai kebenaran.
- Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
- Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang bersengketa/berselisih disuruh mencelupkan tangan ke dalam air panas yang mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari penghulu Aluk Todolo kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangan ke dalam air panas, dan barang siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang hasilnya segera diumumkan oleh dewan adat sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.
- Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing – masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada.Menurut keyakinan mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan. Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek manusia diikuti seterusnya oleh manusia.
- Sibiangan atau sire’tek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima kata – kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
- Sitempoan yang biasa disebut sisumpah, yaitu dua orang yang berselisih disuruh mengucapkan sumpah keduanya dihadapan dewan adat dimana doa = sumpah diucapkan oleh penghulu aluk todolo lebih dahulu kemudian diulangi dengan tidak salah – salah oleh yang bersengketa bergantian, yang isinya antara lain:“ Puang matua, deata titanan Tallu Esungganna, Tomembali puang laun rimpi’na lan tangngana padang sia tang laun pasitirona’ kameloan sia kamanamanan sae lakona ketangumpokadana’ tang tongan, ...dst. Artinya: Tuhan sang pencipta, Dewa-dewa sang pemeliharaan tiga serangkai dan leluhur akan menghancurkan aku dan penghidupanku serta akan mengutuk aku selama – lamanya jikalau aku tidak berkata benar, ...dst. Dalam mengucapkan sumpah demikian itu, juga menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu akibat-akibat dari sumpah seperti orangnya mati atau suatu malapetaka yang menimpa dirinya. Jangka waktu yang berlaku dalam menunggu hasil dari sumpah yang telah dilakukan itu, oleh masyarakat Toraja mengenal jangka waktu itu dalam 3 (tiga) hari, 6 (enam (hari), 30 (tiga puluh) hari, atau setahun padi (sekali panen). Perhitungan waktu-waktu tersebut dia ini adalah perhitungan waktu yang lasim dan selalu dipergunakan dalam pembagian waktu di Tana Toraja . Peradilan cara demikian berlaku pula pada dua orang yang bersengketa dimana tak ada orang lain sebagai penengah yang dinamakan Sisumpah atau Sipenggatan, yaitu keduanya menyumpah diri berganti-ganti, yang sangat banyak kejadiannya di dalam masyarakat Toraja dengan memegang barang yang menjadi sengketa lalu bersumpah kedua orang yang sedang memegang barang itu. Peradilan sitempoan ini mulai mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar masuk di Tana Toraja karena cara demikian itu dianggap terlalu kejam karena jikalau dikalah dalam Sitempoan berarti dikalah dua kali yaitu sudah korban dan kemudian dikalah lagi, maka waktu pengaruh Islam mulai masuk yang disusul dengan pengaruh peradilan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah adalah pembuktian kebenaran masalah, dan jikalau seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan ketidakbenarannya atau sumpah palsunya sudah ditebus dengan pertaruhan nyawanya. Karena peradilan Sitempoan sudah berubah statusnya sejak beberapa puluh tahun, maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat, karena dianggap sudah agak enteng yaitu asal jangan dikalah biarlah disumpah saja sekalipun ada akibatnya nanti, dan inilah menyebabkan timbulnya sumpah palsu. Pengambilan sumpah pada peradilan adat Toraja masih sering pula terjadi di antara orang yang bersengketa tetapi pelaksanaannya sama dengan cara – cara pengambilan sumpah pada peradilan negeri.
- Sirari Sangmelambi’, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang kelompok yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perang; sangmelambi’= sepagi). Perang sepagi atau Sirari sangmelambi’ ini adalah bentuk peradilan yang paling akhir terjadi dari pada Tarian Pitu tersebut yaitu peradilan yang menggantikan peradilan adu kekuatan dengan tarik menarik dan tolak menolak seperti yang pernah terjadi dalam pembagian daerah Padang di Puangngi Tallu lembangna, pertarungan adu kekuatan merebut kedudukan yang teratas. Sirari Sangmelambi’ ini ialah seorang atau satu pihak mengarak atau mengumpulkan pengikut lalu menentukan batas untuk diperebutkan siapa yang dapat melintasinya. Sirari Sangmelambi’ ini benar-benar perang mempertahankan daerah tertentu yang dilalukan hanya pada subuh sampai matahari terbit harus dihentikan. Masing-masing pihak mempertahankan daerahnya dimana terdapat satu pihak penengah yang akan menyaksikan peperangan sepagi itu serta mengawasi jikalau sudah ada diantara yang berperang itu korban, dan jikalau dalam perang terus ada yang korban terus pihak penengah yang mengikutinya berteriak sebagai tanda berhenti karena sudah ada bukti kekalahan yang dikatakan To’domo Damo’ artinya sudah ada yang luka. Pihak yang luka dinyatakan terus kalah sekalipun kekuatannya lebih besar, dan pada saat itu peperangan terus dihentikan, dan ada yang luka itu dikatakan kalah perang dan disebut To Ditalo (orang yang kalah), dan segera penguasa adat sebagai penengah mengumumkan siapa yang kalah itu. Sirari Sangmelambi’ itu biasanya dilakukan oleh satu rumpun keluarga atau oleh satu penguasa adat terhadap penguasa adat lainnya yang Sirari Sangmelambi’ ini sangat besar akibatnya tidak sama dengan Tarian Pitu yang lain tersebut diatas. Sering terjadi yang kalah harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada yang menang, dan penyerahan harta keseluruhan itu dikatakan di pakalao. Sirari sangmelambi’ itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang saudara di Tana Toraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya pemerintahan Belanda.