Melangkah di Dalam Badai.
Oleh: Pdt.J. R. Pasolon, M.Th
Orasi pada Wisuda STT Rantepao 2002
Suatu gambaran mengenai Gereja Toraja
dalam situasl sosial-politik di Luwu dan Tanatoraja 1947-1967
1. Sebagaimana lazim di perguruan tinggi bahwa pada setiap peringatan hari berdirinya ada orasi ilmiah, demikian juga di STT Rantepao hal tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini teJah diJakukan. Dalam rapat Senat Sekolah Tinggi Teologi Rantepao, tanggal 31 Agustus 2002 saya ditunjuk untuk menyampaikan orasi pada peringatan Dies Natalisnya yang XXXVIII ini.
Sesuai dengan bidang studi yang saya ampu selama ini, yaitu sejarah gereja, maka topik orasi saya tentu tidak jauh dari bidang tersebut. Saya hari ini hendak berbicara tentang Gereja Toraja, dalam suatu kurun waktu yang saya namakan waktu-waktu yang penuh badai, yaitu masa antara tahun 1947 sampai tahun 1967. Tahun 1947 saya jadikan sebagai titik tolak, mengingat bahwa pada tahun itulah, tepatnya tanggal 25 Maret 1947, Gereja Toraja resmi berdiri sebagai sebuah institusi gereja. Tahun 1967 dijadikan sebagai pembatas atas dasar pemikiran bahwa itulah tahun berakhirnya berbagai badai yang melanda Gereja Toraja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Tahun-tahun selanjutnya adalah tahun-tahun yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai masa Orde Baru.
Mengapa justru masa lalu yang diorasikan? Mengapa bukan masa sekarang atau masa depan Gereja Toraja? Itulah uniknya sejarah. Sejarah selalu berbicara tentang masa lalu. Webster's Dictionary ( 1993:85) secara singkat menjelaskan bahwa sejarah adalah "past events, especially those involving human aftairs". Encyclopedia Americana ( 1984:226) menjelaskan sejarah sebagai "The past experience of mankind". Seorang sejarawan Amerika mengibaratkan seiarah sebagai seorang yang naik kereta menghadap ke belakang. Ia dapat melihat ke belakang, ke samping kanan dan kiri tetapi terkendala untuk melihat ke depan.
Betapapun (kenyataannya) demikian, tak jarang orang bijak berujar: "Jasmerah", "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah"(ucapan Soekamo, presiden pertama Republik Indonesia), atau "Belajarlah dari seiarah". Ucapan lainnya ialah: "Orang yang tidak menguasai sejarah adalah bagaikan orang yang lupa ingatan". Kita tidak usah tersinggung dengan ucapan yang terakhir ini sebab bukankah benar bahwa orang yang sudah dikategorikan sebagai lupa ingatan tidak menyadari lagi di mana ia sekarang berada, ia datang dari mana dan kemana hendak menujukan hidupnya. Orang yang lupa ingatan tidak berpikir tentang masa lalunya, masa sekarangnya, apalagi masa depannya. Ia pun tidak sadar untuk apa ia masih hidup sekarang. Lain halnya dengan kita yang berada dalam keadaan yang normal. Kita sadar bahwa kita sedang melangkah ke masa depan yang penuh dengan tantangan. Untuk itu kita tidak sekedar mau berjalan ke masa depan bersama dengan semua warga dunia lainnya melainkan diperlukan perhitungan- perhitungan dan pemikiran-pemikiran yang baik sehingga langkah kita mantap, terhindar dari sandungan-sandungan yang setiap waktu ada di jalan. Dengan menengok ke belakang,
2
entah ke masa yang jauh atau ke masa yang belum lama kita tinggalkan, kita belajar sesuatu dari masa-masa itu untuk melangkah dengan lebih baik lagi ke masa depan.
Dalam pemahaman seperti itulah saya mengajak kita semua untuk sejenak menaruh perhatian terhadap sejarah Gereja Toraja, kurun waktu dua puluh tahun yang pertama, 1947-1967. Semoga saja ada manfaatnya bagi kita semua.
Ini hanyalah salah satu "lukisan", salah satu upaya rekonstruksi. Diharapkan akan muncul "lukisan-lukisan" lainnya yang akan memperkaya khasanah sejarah gereja kita, Gereja Toraja khususnya, dan gereja-gereja lainnya.
Perlu diketahui bahwa apa yang saya sampaikan dalam bentuk orasi ini adalah isi utama tesis saya dalam mengakhiri studi saya pada STT INTIM Makassar, tahun 2000 yang lalu. Sebagai sebuah rangkuman sudah pasti bahwa orasi ini tidak akan mampu mengangkat ke permukaan semua hal yang tentu tidak kurang pentingnya. Keterbatasan waktu yang dialokasikan untuk ini sangat tidak memadai. Untuk itu, sekiranya ada yang berminat untuk lebih memuaskan rasa ingin tahunya, ke Perpustakaan STT Rantepao saya akan menyerahkan satu eksemplar dari tesis tersebut. DI Perpustakaan STT INTIM pun telah ada.
2. Tahun-Tahun yang Penuh Badai
Masa dua puluh tahun, sejak Gereja Toraja berdiri sendiri sebagai sebuah sinode (1947-1967), adalah masa yang penuh dengan gejolak sosial-politik. Berbagai gejolak itu adalah bagaikan badai yang sewaktu-waktu dapat menghentikan langkah Gereja Toraja menapak di jalan yang ditempuh. Badai yang dimaksudkan itu adalah sebagaimana yang terurai berikut ini.
2.1 Revolusi Fisik (sampai tahun 1949)
Dalam sejarah Indonesia, masa antara tahun 1945-1949 dikenal sebagai masa revolusi, yaitu masa dimana bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap Belanda yang berusaha untuk kembali berkuasa di Indonesia. Dengan membonceng di belakang tentara sekutu, Belanda berusaha merebut kembali semua wilayah yang telah dinyatakan sebagai wilayah kesatuan negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. NICA, demikianlah nama baru yang mereka gunakan untuk pemerintahannya. Bangsa Indonesia tidak rela menerima kembalinya pemerintah penjajah Belanda itu. Di semua wilayah republik terjadi perlawanan bersenjata, tidak terkecuali di daerah Sulawesi Selatan. Di daerah Swapraja Luwu, yang meliputi Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Tana Toraja yang sekarang serta Kolaka, terjadi pula pergolakan yang tidak kalah hebatnya dengan daerah-daerah lainnya. Seluruh warga masyarakat ikut berjuang. Baik di Luwu
3
maupun di Tana Toraja, daerah kelahiran Gereja Toraja, terbentuk kesatuan-kesatuan pemuda dan rakyat untuk mengadakan perlawanan. Sementara hal itu berlangsung, jemaat-jemaat, hasil penginjilan Gereformeerde Zendingsbond (GZB) mengadakan sinodenya yang pertama pada tahun 1947 dan menghasilkan keputusan bahwa jemaat- jemaat hasil zending itu mempersatukan diri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja. Gereja yang baru berdiri itu tentu saja segera diperhadapkan dengan masalah-masalah sosial-politik dari masa revolusi itu. Gereja Toraja diperhadapkan kepada pilihan politik yang cukup sulit. Gereja Toraja hendak bemaung dimana? Berada di bawah pemerintah Republik Indonesia atau di bawah NICA ? Bagaimanakah Gereja Toraja menghadapi badai revolusi itu?
2.2 Pasca Revolusi (1950-1967)
Pada tahun 1949 masa revolusi berakhir dengan ditandatanganinya penyerahan /pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda lewat Konferensi Meja Bundar. Peristiwa bersejarah tersebut tidakjuga segera mengakhiri gejolak sosial-politik yang terjadi sampai saat itu. Memasuki tahun 50-an sampai dengan berakhimya masa yang secara umum dikenal sebagai masa Orde Lama (ORLA), sebutan yang Orde Baru berikan terhadap masa sebelum ORBA, gejolak sosial-politik terus meningkat. Badai belum berlalu. Di berbagai daerah timbul pergolakan dan pemberontakan, baik sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat maupun yang sifatnya lokal. Pemberontakan DI/TII di daerah-daerah yang mayoritas Islam oleh pemimpin-pemimpin DI/TII, antara lain Kartosoewirjo di Jawa barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daud Beureue di Aceh, Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara, Pemberontakan PRRI di Sumatera, Pemberontakan RMS di Maluku.
Di Sulawesi Selatan, khususnya di bagian utara, Luwu dan Tana Toraja, selain pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, terjadi juga gejolak-gejolak sosial- politik lainnya. Selengkapnya, gejolak-gejolak yang dimaksudkan itu ialah sebagai
berikut.
2.2.1 Pemberontakan Kahar Muzakkar (1950-1965)
Pada tahun 1950 Kahar menyatakan pemberontakannya terhadap pemerintah pusat. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya terhadap cara pemerintah merasionalisasi para gerilyawan dari masa revolusi ke dalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia. Ia pun kecewa karena tidak diikutkan dalam operasi-operasi pemulihan ketenteraman di Sulwesi Selatan. Bersama dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya ia masuk hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Selama lima belas tahun ia mengembara di hutan-hutan Sulawesi Selatan
4
danSulawesi Tenggara. Pemberontakan tersebut menimbulkan ketidakamanan dan kerusakan di berbagai bidang.
Ketika pada tahun 1953 perjuangan Kahar Muzakkar digandengkan dengan perjuangan DI/TII Kartosoewirjo yang berusaha mendinkan negara Islam di Indonesia, pendekatan kekerasan digunakannya untuk memaksakan rakyat berpihak kepadanya. Di berbagai tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di bagian utara, di daerah Luwu dan Tana Toraja pemaksaan untuk berpindah ke Agama Islam terhadap penganut agama lainnya dilakukan. Penstiwa tersebut pada umumnya terjadi di daerah-daerah perbatasan yang jauh dari jangkauan Tentara Nasional Indonesia, seperti daerah-daerah Tana Toraja bagian selatan, barat, daerah Luwu seperti Ranteballa, Pantilang, Seko dan Rongkong. Rakyat yang tidak bersedia bergabung dengan Kahar Muzakkar banyak yang menjadi korban pembunuhan. Mereka yang sempat luput, melankan din ke daerah-daerah yang dianggap amman. Terjadilah pengungsian besar-besaran ke daerah-daerah yang dikuasai pemerintah pusat. Di Luwu, daerah-daerah pengungsian yang terkenal ialah Masamba, Sabbang, Palopo, Senti, Rantai Damai, Batusitanduk. Di Tana Toraja pada umumnya rakyat di daerah- daerah pinggiran mengungsi ke daerah di sekitar Makale dan Rantepao.
Rakyat dari daerah Seko tersebar ke berbagai daerah, ke Sulawesi Tengah, ke Kalumpang dan ke Tana Toraja.Sebagian dari pengungsi itu sudah ada yang sempat diislamkan, sebagian sudah Kristen dan sebagian lagi masih menganut agama lamanya, "Aluk Todolo". Badai yang mewujud lewat pemberontakan Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya baru berhenti ketika pada tanggal 3 Februari 1965 tentara Siliwangi berhasil menembak mati sang pemberontak, Kahar Muzakkar di tepi sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara.
2.2.2 Peristiwa 1953/1958
Khusus di Tana Toraja, pada tahun 1953 dan 1958 terjadi suatu peristiwa yang oleh masyarakat Toraja dikenal sebagai "Peristiwa Andi Sose". Disebut demikian karena yang dianggap sebagai penyebab penstiwa itu ialah Andi Sose (sekarang Pensiunan TNI dan pengusaha). Andi Sose adalah putra Puang Buntu Batu, saudara sepupu A. Y.K. Andilolo (mantan Bupati Daerah Tingkat II Kabupaten tana Toraja). Pada masa revolusi dia bersama tentara genlya pimpinannya, sebagian besar dari mereka adalah pemuda-pemuda Toraja, berjuang melawan pasukan Belanda yang kembali dengan pemerintah NICA-nya. Setelah revolusi fisik berakhir, gerilya pimpinannya diterima sebagai tentara nasional dan ditempatkan di Tana Toraja.
Tidak lama setelah ditempatkan di Tana Toraja terjadi keresahan di kalangan masyarakat. Banyak tindakannya yang dianggap tidak menyenangkan masyarakat, diantaranya karena ditengarai hendak membangun sebuah mesjid di tengah kolam
Makale, kolam kebanggaan masyarakat di ibu kota Kabupaten Tana Toraja itu. Tersebar
5
pula berita tentang perusakan sejumlah gadis Toraja oleh tentara-tentara mantan gerilyawan, pimpinan Andi Sose itu. Melihat gelagat yang tidak baik itu masyarakat Toraja bangkit melawan hendak mengusir Andi Sose dan pasukannya dari Tana Toraja. Usaha masyarakat Tana Toraja itu berhasil. Dalam waktu yang tidak lama Andi Sose dan pasukannya diusir dari Tana Toraja pada tahun 1953 itu juga.
Andi Sose masih sempat lagi kembali ke Tana Toraja dengan tujuan "membayar utang" kekalahannya pada tahun 1953. Dengan jumlah tentara yang lebih besar dan dengan persenjataan yang sudah lebih modern ia berharap dapat menguasai Tanatoraja. Ia muncul lagi di Tana Toraja pada tanggal 1O April 1958. Tetapi sekali lagi cita-citanya itu gagal karena masyarakat Toraja, yang menganalogkan situasi tersebut dengan peristiwa "Untulak Buntunna Bone", kisah perlawanan heroik masyarakat Toraja menghadapi tentara Bone di bawah pimpinan Aru Palaka yang hendak menaklukkan Tana Toraja ke bawah kekuasaan Bone menjelang akhir abad XVII, sekali lagi menang perang. Masyarakat Toraja merasa terbebas dari ancaman yang dirasakan sebagai suatu malapetaka. Pada waktu itu masyarakat Toraja, melalui PARKINDO dan Gereja Toraja, merasa telah terpandu melewati masa-masa yang penuh kegetiran itu. (Bnd. Bigalke, 1981:441). Bigalke menyebut PARKINDO sebagai pimpinan etnis Toraja dalam masa- masa menghadapi berbagai masalah, khususnya masalah-masalah sosial-politik dan budaya.
2.2.3 Revolusi Tani, 1953
Pada tahun 1953 terjadi sejenis "revolusi" yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tani yang telah terprovokasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), terutama melalui organisasi massanya yang dikenal dengan nama Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat (PR). Menurut Bigalke (1981 :403) banyak anggota dari kedua organisasi massa tersebut yang cukup handal, terlatih, baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat dunia. Berkat dukungan moral dari tentara Batalyon 422 Diponegoro kedua organisasi massa PKI itu melakukan penyerobotan tanah yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah karena anggapan bahwa tanah-tanah tersebut adalah milik mereka yang dahulu dirampas oleh para feodal yang berkuasa sebelum kedatangan pemerintah Belanda ke daerah Tana Toraja. Secara bergotong-royong dan berkelompok-kelompok mereka menanami sawah yang telah "dibebaskan"- Kelompok-kelompok tersebut kemudian menjadi sangat revolusioner-radikal sehingga melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap orang-orang yang dianggap perampas tanah milik nenek moyang mereka. dan sempat membantai beberapa orang dari bangsawan tuan tanah. Bungin, Kasimpo, Batupapan, Angin-Angin, Pangrante, Tikala, Pemanikan menjadi medan ravolusi tersebut. Hanya perlawanan spontan dari masyarakatlah yang kemudian menghentikan tindakan balas dendam massa BTI dan Pemuda Rakyat itu.
6
Bagaimanapun juga revolusi kaum tani itu adalah suatu badai yang terjadi di lingkungan pelayanan Gereja Toraja. Revolusi tersebut memang skalanya kecil saja tetapi itu jelas adalah masalah sosial-politik yang tak urung meninggalkan "luka" yang pedih dalam masyarakat yang mengalaminya.
2.2.4 Peristiwa G.30.S.PKI
Dalam sejarah Indonesia, peristiwa yang dikenal sebagai G.30.S / PKI adalah salah satu tragedi nasionaI yang memiliki dampak negatifyang sangat luas, khususnya bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Segera setelah peristiwa tersebut di seluruh Indonesia berlangsung pemburuan bagi mereka yang dianggap terlibat, baik secara langsung maupun tidak" Aksi-aksi dari berbagai pihak, organisasi politik, organisasi massa, golongan menuntut pembubaran partai yang dianggap sebagai dalang dan pelaku dari tragedi berdarah itu.
Luwu dan Tana Toraja, daerah paling utara Propinsi Sulawesi SeIatan pun tidak Iuput dari dampak peristiwa G.30./ PKI tersebut. Di daerah tersebut pengaruh PKI tidak kecil. Banyak anggota masyarakat, tidak terkecuali anggota Gereja Toraja menjadi anggotanya. Penyebabnya tidak lain adalah karena anggota masyarakat yang masih sederhana itu mudah tertarik kepada janji-janji dan iming-iming. Lagipula pengetahuan mereka tentang ideologi yang dianut PKI sangat minim. Mereka tidak tahu apa itu ateis. Barulah ketika peristiwa tragis itu terjadi mereka menjadi sadar. Bagi masyarakat Luwu dan Tana Toraja peristiwa G.30.S / PKI itu adalah juga badai, juga badai bagi Gereja Toraja.
2.2.5 Berdirinya GPIL
Pada tahun I966, tidak lama setelah peristiwa G.30.S/PKI, Gereja Toraja mengalami perpecahan. Sebagian besar anggotanya, khususnya mereka yang merasa orang Luwu, keluar dari Gereja Toraja dan mendirikan institusi gereja yang baru yang dinamakan Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL).
Berdirinya Gereja Protestan Indonesia Luwu bukanlah karena alasan teologis
melainkan karena alasan-alasan yang sifatnya non-teologis, menyangkut masalah-masalah sosial-politis dan budaya. Atas dasar pertimbangan bahwa mereka hidup dan tinggal di daerah Luwu dengan situasi sosial-budaya yang yang tak persis sama dengan yang dikenal secara umum sebagai kebudayaan Toraja dan bahwa mereka tak mau dianggap "orang asing di negeri sendiri" keinginan tersebut diwujudkan meskipun tidak melalui proses yang wajar.
Bagaimanapun kenyataan tersebut tidak dapat dihindari oleh Gereja Toraja. Peristiwa itu pun adalah suatu badai bagai Gereja Toraja. Ribuan anggotanya melepaskan diri dan membentuk institusi gereja yang mandiri
7
3. Melangkah di Dalam Badai
Bagaimanakah Gereja Toraja melangkah di dalam badai sebagaimana yang
dideskripsikan di atas? Tidak mudah baginya sebagai gereja muda untuk melangkah di dalam berbagai gejolak sosial-politik itu.
Gereja Toraja adalah hasil pekabaran Injil Gereformeerde Zendingsbond (GZB), lembaga pekabaran Injil dari negeri Belanda yang latar belakang teologinya bercorak Calvinis-Pietis dan Etis. Dari segi politis, Gereja Toraja bertumbuh dan berkembang ketika bangsa Indonesia masih dijajah oleh bangsa Belanda. Khusus Luwu dan Tana Toraja pemerintah Belanda mulai berkuasa di daerah tersebut sejak awal abad XX, tepatnya sejak tahun 1905. Dengan latar belakang tersebut orang Kristen, anggota Gereja, di Luwu dan Tana Toraja diidentifikasi sebagai kawannya Belanda. Identifikasi seperti itu menyulitkan posisinya.
Pada masa revolusi fisik (1945-1949) Gereja Toraja sebagai sebuah lembaga ditempatkan pada pilihan dilematis antara menyatakan keberpihakan secara jelas kepada pemerintah Republik Indonesia atau berpihak kepada pemerintah Belanda di bawah NICA.
Meskipun tidak terlihat dengan jelas pilihannya, tersirat juga sikapnya melalui kehadiran sejumlah anggota gereja dalam perjuangan melawan Belanda pada masa revolusi itu. Baik di Luwu maupun di Tana Toraja perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara yang sudah direbut itu dilakukan oleh anggota gereja secara pribadi. Banyak dari antara mereka yang gugur sebagai pejuang. Di samping kehadirannya di dalam perjuangan secara fisik sejumlah pemuda gereja yang menamakan diri "Republikein" turut berjuang di bidang politik untuk memperjuangkan terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia.
Suara-suara dari pihak zendeling tidak memperlihatkan dukungan yang pasti. Ada yang menyebut para pejuang sebagai orang-orang yang "kena pukau cita-cita kemerdekaan", atau menamakan cendekiawan Kristen yang terjun ke dunia politik sebagai orang yang "kacau pikirannya" .
Demikianlah Gereja Toraja melangkah di dalam masa revolusi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja waktu itu tidak terlalu tertarik kepada masalah politik Baginya, yang penting adalah bagaimana menjalankan pelayanan di dalam gereja. Hal itu nampak jelas pula di dalam notulen Sinode Amnya yang I dan II (dalam Himpunan Notulen Synode Pertama sampai dengan Synode Kelima Geredja Toradja). Masalah yang lebih menarik bagi gereja muda itu ialah mengenai perempuan yang tidak boleh memegang jabatan gerejawi, permandian (baptisan), perkawinan dan perceraian, lelang pada hari Minggu, mayat dan penguburannya, pekaamberan to sarani (orang-orang yang dihormati dalam jemaat ), buku leso" (daging tertentu yang diberikan kepada pemimpin tradisional). Gereja tidak mengeluarkan suatu fatwa tentang sikap politik menyangkut
8
situasi yang dihadapi.
Sesudah masa revolusi Gereja Toraja melangkah ke dalam masa-masa antara tahun 1950-1967), masa-masa yang juga penuh dengan badai. Buku "Benih Tumbuh VI" menamakan masa tersebut sebagai masa ujian n (Masa ujian I berlangsung pada masa Jepang, 1942-1945). Penamaan tersebut tentu dikaitkan dengan situasi sosial-politik yang terjadi zaman itu. Terjadi gejolak-gejolak sosial dan pemberontakan yang berlatar belakang ideologis-politis (lihat uraian di atas ).
Menghadapi situasi buruk yang ditimbulkan oleh pemberontakan Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya Gereja Toraja mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, bekerja sama dengan pemerintah menangani masalah-masalah pengungsi. Dalam urusan penanganan pengungsi P ARKINDO memegang peranan penting.
Kedua, Gereja Toraja meminta bantuan dari DGI untuk menangani kebutuhan sehari-hari para pengungsl.
Ketiga, Gereja Toraja melalui jemaat-jemaatnya menampung parapengungsi.
Selain bantuan berupa sandang, pangan dan papan, pimpinan gereja mengunjungi para pengungsi di tempat pengungsian dan memberikan bimbingan dan nasihat-nasihat serta penghiburan untuk menunjang semangat mereka.
Pada masa-masa sulit seperti itu beberapa tokoh gereja tampil dengan kharisma yang menonjol, antara lain pendeta J.Linting (almarhum), Pendeta Pattykaihatu (almarhum) yang menangani para pengungsi Seko di daerah pelayanannya di Kalumpang, Pendeta P.S.Palisungan sebagai gembalajemaat di resort Rongkong yang setia berada di tengah- tengahjemaatnya sampai gugurnya sebagai syahid pada tahun 1953 oleh gerombolan pemberontak DI/TII pimpinan Andi Masse', alias Mas Djaya. Almarhum Pendeta J . Linting, oleh Dr. Th. Kobong digelar sebagai "Londongna Toraya", sebab melalui peranannya pada masa-masa badai itu benar-benar telah memperlihatkan fungsinya sebagai "to urrengnge' aluk sia to urrengnge' tondok".
Menghadapi peristiwa 1953/1958, Peristiwa Andi Sose, Gereja Toraja bersama dengan PARKINDO telah berusaha melindungi atau mempertahankan Tana Toraja dan masyarakat Tanatoraja dari rongrongan orang-orang yang ambisinya pribadinya dianggap merugikan dan akan menenggelamkan Toraja. Gereja Toraja telah dianggap sebagai pandu masyarakat Toraja, begitupun halnya dengan PARKINDO yang waktu itu sulit membedakannya dari kekristenan. Menjadi anggota Gereja Toraja dianggap tidak cukup kalau tidak menjadi anggota PARKINDO, dan sebaliknya menjadi anggota PARKINDO haruslah berguna bagi Gereja Toraja. PARKINDO juga adalah pemimpin masyarakat Toraja.
Mengenai sikap Gereja Toraja dalam menghadapi "revolusi Tani" dan PKI, sampai dengan terjadinya peristiwa G.30.S/PKI Gereja Toraja tidak terlalujelas memperlihatkan sikap penentangannya. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa PKI dan organisasi massanya adalah partai dan organisasi resmi yang diakui oleh pemerintah. Di bawah
9
presiden Soekamo berlangsung Nasakomisasi (Nasionalisme, Agama dan Komunisme ). "Nasakom jiwaku", " Nasakom satu cita sosialisme", demikian didengungkan waktu itu. Gereja dan organisasi-organisasi Kristen baru memperlihatkan keberaniannya ketika PKI sudah dinyatakan sebagai otak dari Peristiwa G.30.S. Gereja Toraja juga mengeluarkan surat penggembalaan yang menyatakan penyesalannya, mengakui kelalaian dan dosanya. Dalam surat penggembalaan yang dikeluarkan usai Sinode Am Gereja Toraja di Sa'dan, tahun 1967 antara lain dikatakan:
"Menyebamya ideologi Komunis pada masa yang lampau yang memuncak dalam peristiwa G.30.S. yang mengakibatkan mala petaka yang sangat besar bagi kehidupan bangsa, Negara dan masyarakat adalah akibat kelalaian kita, juga dalam mewujudkan tugas kenabian kita. ...Marilah kita mengaku di hadapan Tuhan segala dosa dan kelalaian kita di dalam menyatakan kebenaran bahwa Tuhan yang telah menyatakan diri dalam Yesus Kristus adalah sumber segala kebahagiaan, kesej ahteraan pengharapan manusia" .
Menghadapi masalah terlepasnya sebagian anggota Gereja Toraja yang mendirikan Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL) Gereja Toraja telah berusaha untuk dapat merekat kembali keretakan itu. Berbagai pertemuan dan percakapan dilakukan dengan parapemimpin dan tokoh-tokoh GPIL namun keretakan tidak lagi dapat diperbaiki. Nasi telah menjadi bubur. Gereja Toraja harus menerima realitas bahwa ia tidak dapat mempertahankan dan memelihara keutuhan dirinya. Badai perpecahan meluluhlantakkan dirinya meskipun tak sampai hancur. Peristiwa tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga.
4. Masalah-Masalah Umum
Telah dikatakan di atas bahwa sebagai Gereja muda Gereja Toraja belum begitu tertarik terhadap masalah-masalah yang dianggap tidak langsung diperhadapkan kepada dirinya. Revolusi fisik pada tahun 1945-1949, DImI, Revolusi Tani 1953, Peristiwa 1953/1958 adalah kejadian-kejadian yang meskipun mengena dirinyajuga tidak atau belum terlalu dipikirkan secara mendalam, apalagi untuk dipersoalkan dari segi teologis. Hal-hal yang menjadi keprihatinan utamanya ialah urusan intern gereja, pelayanan ke dalam dirinya sendiri. Yang dipersoalkan adalah akibat-akibat yang timbul dari kejadian- kejadian di sekitamya, misalnya menangani masalah pengungsi sebagai akibat dari tekanan gerombolan DI/TII.
Penekanan terhadap pelayanan ke dalam memang telah menjadikan Gereja Toraja tumbuh menjadi sebuah gereja yang besar di Sulawesi Selatan yang peranannya pada masa kini tidak dapat dianggap kecil. Pengalamannya melangkah di dalam badai telah menjadikannya tumbuh dewasa dalam berbagai segi.
Sebagai akibat dari pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat
10
Konperensi Meja Bundar pada tahun 1949, bangsa Indonesia dengan demikian secara resmi terlepas dari belenggu penjajahan. Bangsa Indonesia mulai menata diri sendiri. Hal yang sama terjadi pula di dalam gereja. Gereja-gereja, termasuk Gereja Toraja mulai belajar mandiri, mandiri dalam daya, dana dan teologi.
Pertumbuhan kwantitas anggota Gereja Toraja, terutama sejak zaman Jepang dapat dikatakan cukup fantastik. Meskipun mungkin hanya sebagai pemyataan politis, Pendeta J. Linting mengatakan bahwa pada awal tahun 1950-an Gereja Toraja sudah memiliki anggota sejumlah 180.000jiwa. Bagaimanakah mengatasi ledakan pertambahan anggota tersebut? Gereja Toraja segera mengatasinya dengan mendirikan sekolah-sekolah. Di bidang pendidikan teologi Gereja Toraja mendirikan Sekolah Alkitab Gereja Toraja, Pendidikan Guru Agama tingkat atas(PGAA) pada tahun 1962, STT Rantepao pada tahun 1964. Melalui sekolah-sekolah teologia tersebut Gereja Toraja mampu mengatasi kekurangan tenaga pelayan.
Untuk bidang pendidikan umum didirikan sekolah-sekolah Kristen di bawah payung Yayasan Perguruan Kristen Toraja (YPKT) yang didirikan pada tahun 1954. Alumnus dari sekolah-sekolah Kristen asuhan YPKT , diantaranya adalah SGA , kemudian berganti nama dengan SPG, telah berperan banyak di dalam membawa kemajuan bagi masyarakat Toraja, khususnya anggota Gereja Toraja.
Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, khususnya ekonomi jemaat, Gereja Toraja mengadakan tiga proyek utama: Percetakan dan Balai Buku yang bertujuan melayani kebutuhan gereja khususnya dan masyarakat pada umumnya, Proyek Buntu Marampa' yang merupakan perusahaan kooperatif yang bertujuan membiayai pensiun guru-guru dan YPKT, dan Proyek Rante- Tagari yang maksud dan tujuannya ialah untuk pendidikan teknologi bagi ST I, ST II dan STM.
Sebagai akibat dari pergolakan di dalam masyarakat pada tahun 1960-an Gereja Toraja menghadapi pergumulan yang sangat besar. Pergumulan yang berat itu temyata menghasilkan karya teologi yang cukup besar pula artinya bagi Gereja Toraja, yakni dihasilkannya satu pengakuan iman: Pengakuan Gereja Toraja (PGT) yang kemudian disahkan dalam Sidang Sinode Am XVI Gereja Toraja tahun 1981 di Makale.
Bidang-bidang pelayanan barupun di bentuk untuk lebih memahami pelayanan intern Gereja, seperti dibentuknya Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT) pada tanggalll Desember 1962, Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT) pada tanggal5 Desember 1966.
Dalam hubungan dengan dunia politik terlihat bahwa ada ketidaksepahaman diantara pimpinan gereja. Mereka yang menentang keterlibatan di dalam dunia politik mengajukan alasan bahwa gereja dan dunia adalah dua hal yang berbeda sekali dan keduanya harus dipisahkan. Politik hanyalah upaya memperebutkan kekuasaan. Pada pihak lain, mereka yang menerjunkan diri ke dunia politik berpikir bahwa satu-satunya sarana untuk menghubungkan diri dengan dunia politik ialah PARKINDO, partai berlabel Kristen pada
11
waktu itu. Alasan teologis untuk keterlibatan di dalam dunia politik belum dipikirkan. Kambing hitam untuk masalah ini ialah teologi pietis yang memusuhi dunia. Barulah sesudah Sidang Sinode Am XI Gereja Toraja di Sa'dan pada tahun 1967 sebuah komisi dibentuk untuk urusan kemasyarakatan, yaitu Komisi Gereja dan Masyarakat.
5. Catatan-Catatan Teologis
Banyak hal yang perlu diberi catatan-catatan teologis dari masa yang disampaikan dalam orasi ini, tetapi karena keterbatasan waktu maka pilihan terbataspun dilakukan. Di sini saya memilih untuk memberi catatan terhadap peran sosial-politik Gereja Toraja selama waktu yang disebut sebagai masa badai (1947-1967). Gereja Toraja yang dimaksudkan di sini dapat berarti institusinya ataupun anggotanya.
Secara institusi, peran sosial-politik Gereja Toraja dalam kurun waktu 20 tahun (1947-1967) belum memadai. Gereja Toraja baru belajar menghadapi situasi yang untuknya sebagai gereja muda masih baru dan cukup sulit. Tambahan pula gereja muda ini meskipun sudah dinyatakan berdiri sendiri masih tetap berada di bawah bayang-bayang Zending yang menghasilkannya, khususnya di bidang teologi. Untuk itu Gereja Toraja baru mengarahkan perhatiannya ke dalam dirinya, mengurus diri supaya mampu bertahan di dalam "gelombang dunia", atau "badai" yang menimpanya. Gereja Toraja kala itu belum tertarik kepada masalah-masalah yang terkait langsung dengan urusan dunia seperti politik. Maka ketika partai-partai politik terbentuk di Toraja, termasuk PARKINDO, Gereja Toraja tetap menjaga jarak. Sebagai akibatnya, ketika gejolak-gejolak sosial- politik merambah wilayah pelayanannya Gereja Toraja sulit juga menentukan sikap. Maka Gereja Torajajuga hanya menangani akibat-akibat yang secara langsung dialami oleh masyarakat, khususnya pengungsi yang disebabkan oleh tekanan dari DI/Tll Kahar Muzakkar .
Bertentangan dengan sikap institusinya, banyak anggota Gereja Toraja secara individu mengambil jalannya sendiri, misalnya terjun ke medan perjuangan bersenjata melawan NICA, menghadapi gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar, melawan Andi Sose, menghadapi revolusi tani dan PKI. Keterlibatan anggota Gereja dalam menghadapi berbagai badai yang menimpa masyarakat bukanlah atas fatwa langsung dari Gereja sebagai institusi melainkan keputusan pribadi setiap anggota yang merasakan perlunya melibatkan diri dalam memperjuangkan kemerdekaan, keamanan, kedamaian dan ketenteraman.
Dari catatan di atas jelas bahwa Gereja Toraja sebagai sebuah institusi belum secara teologis memikirkan perannya di dalam dunia, khususnya di bidang sosial-politik. Keikutsertaan anggota jemaat secara pribadi di dalam berbagai peristiwa yang mereka hadapi bukanlah karena mempunyai pijakan yang kokoh dalam hal penghayatan iman Kristianinya melainkan karena terpaksa bertindak dan karena dianggap sebagai tuntutan
12
zaman; Jadi lebih banyak pertimbangan yang non-teologis. Memang ada juga yang telah mencoba mendekatkannya atau menggandengkannya namun kemudian menjadi salah kaprah, sebagaimana yang terjadi dengan PARKINDO, yaitu menyamakan demikian saja partai yang berlabel Kristen itu dengan kekristenan itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa kalau tidak masuk PARKINDO mereka sebenarnya bukan orang Kristen. Mereka ingin bahwa sebanyak anggota Gereja Toraja sebanyak itulah pula anggota PARKINDO. Pemikiran seperti itu dipermudah oleh kenyataan bahwa sebagian besar tokoh Gereja Toraja adalahjuga pengurus PARKINDO. Dengan demikian pula dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja dan PARKINDO saat itu saling memperalat, simbiosis-mutualistis. Seandainya sudah ada landasan teologis yang kokoh dari Gereja Toraja mengenai hubungan gereja dengan konteksnya, khususnya dengan dunia politik, misalnya mengenai hubungan gereja dengan negara, maka masalah pelik seperti di atas akan dapat diatasi.
Berbicara mengenai hubungan gereja dan politik sangat jelas terlihat dari sejarah gereja sendiri. Sudah dari awal sejarahnya gereja berkutat dengan masalah-masalah politik, dan sampai sekarang pun gereja tidak mungkin menjauhkan diri dari padanya. Memang benar bahwa sepanjang sejarahnya gereja diperhadapkan kepada dua pilihan, yaitu keterlibatan langsung ke dalam dunia politik, atau mencoba menjauhkan diri dari dunia politik itu. Menurut Soegeng Hardiyanto kedua pilihan tersebut merupakan pilihan berbahaya. Pada satu pihak gereja harus berpolitik dan harus mempunyai sikap politik yang jelas dan tegas, namun juga rela menolak dengan sungguh-sungguh kekuasaan politis. Politik tidak boleh diharamkan dan dikutuk meskipun setiap kehidupan politik selalu menyangkut soal kekuasaan dan penggunaan kekuasaan. Bahkan dengan kehidupan politik yang menyangkut kekuasaan itulah gereja harus semakin terpanggil untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan setia sehingga tidak akan mudah dijinakkan oleh penguasa politik yang tidak demokratis dan tidak emansipatoris.
Sebenamya, jauh sebelumnya, di masa ORLA, keterlibatan orang Kristen atau gereja dalam dunia politik sudah diuraikan dengan jelas oleh Notohamidjojo dalam bukunya "Tanggungdjawab Geredja dan orang Kristen dibidang politik". Berdasarkan
pertimbangan yang asasi, Notohamidjojo memperingatkan gereja tentang panggilannya di bidang politik, yaitu rasa tanggung jawab dalam turut membangun Kerajaan Allah di dunia. Rasa tanggung jawab adalah pengakuan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak hidup sendirian melainkan keberadaannya ditentukan pula oleh pihak lain, entah itu dengan sesama manusia, tetapi terutama dalam pertanggungjawaban terhadap Allah yang oleh-Nya manusia disebut gambar Allah. Martin Buber, yang menekankan hubungan tanggung jawab di antara manusia mengatakan: "Aku ini baru aku karena kamu". Jadi keberadaan manusia adalah keberadaan yang menjawab, khususnya keberadaan yang menjawab kepada Tuhan Yesus, Kepala Gereja.
Tanggung jawab gereja di bidang politik berarti bahwa gereja harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yesus, RajaKerajaan Allah. Gereja harus bertanggung jawab terhadap
13
semua bidang kehidupan, termasuk tanggung jawabnya di bidang politik. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat hakiki. Menurut Notohamidjojo gereja yang tidak memperhatikan politik berada "di luar kegiatan pembangunan Kerajaan surga".
Dapat dipastikan bahwa dalam rangka pemahaman inilah dan karena tuntutan yang mendesak dari konteks gereia-gereja di Indonesia sekarang, Gereia Toraja juga telah turut berbenah diri dan menentukan sikap. Dalam rasa tanggung jawab itulah Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja telah memprakarsai suatu "Pertemuan Khusus Pimpinan Gereja Toraja" pada tanggal 19-22 Agustus 1998 untuk mendiskusikan dan merumuskan pemahaman Gereja Toraja mengenai ‘GEREJA DAN POLITIK’ yang hasilnya akan menjadi "pedoman Gereja Toraja sebagai sebuah institusi pada seluruh aras dan dalam semua unit pelayanannya, dan oleh segenap warga Gereia Toraja sesuai bidang tugas masing-masing khususnya di bidang politik, dan menjalankan tugas-tugas kesaksiannya sebagai umat Allah di tengah-tengah dan untuk masyarakat dan bangsa Indonesia". Ada pengakuan yang tulus dari Gereja Toraja bahwa selama ini Gereja Toraja belum melaksanakan fungsi-fungsinya khususnya di bidang politik. Kendalanya antara lain disebutkan tentang "Adanya pengaruh tradisi teologi pietistis yang cenderung menjauhkan gereia dari bidang politik", atau "terutama karena penyelenggaraan kekuasaan di dalam bangsa dan negara ini amat terpusat di dalam satu tangan, dan rakyat serta hampir semua orang terbius dan terbelenggu di dalamnya". Dengan telah adanya pedoman hasil rumusan sebuah tim yang dibentuk untuk itu maka Gereja Toraja sebagai institusi dan orang Kristen secara pribadi tidak akan ragu-ragu lagi "makan" makanan yang sebelumnya dicurigai sebagai yang "haram dan najis", yaitu memikirkan dan berbuat sesuatu untuk negara lewat jalur politik dan bidang-bidang lainnya.
Masalahnya sekarang adalah: Apakah dengan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas gereja-gereja atau orang Kristen telah sedemikian rupa "berpolitik" sehingga telah mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi bangsa, negara dan masyarakat Indonesia?
Menyadari hal itu Th. Sumartana berbicara tentang perlunya dilakukan langkah repositioning yang mendasar supaya gereia mampu menyumbang pemikiran yang segar kepada umatnya, termasuk kepada masyarakat. Ia menunjuk dua hal yang menurut dia perlu pembaharuan, yaitu pembaharuan politik ke arah emansipasi dan pengembangan kesadaran pluralisme masyarakat. Mengenai pembaharuan politik ke arah emansipasi dijelaskan bahwa emansipasi politik perlu kembali disadari se]aku esensi keterlibatan gereja dalam reformasi politik. Bagi Sumartana, prinsip emansipasi berarti memberi peluang dan kesediaan berbagi kesempatan bagi kelompok lain untuk melakukan peran bagi kehidupan bersama di tengah masyarakat majemuk. Ditengarai olehnya bahwa selama ini politik sering dimengerti sebagai soal merebut dan mempertahankan kekuasaan semata, menggelembungkan peran kelompok sendiri sambil mengeliminasi dan merendahkan kelompok lain. Politik semacam ini mengingkari kenyataan masyarakat yang majemuk, dan merupakan sebuah "politik bunuh diri massal", benih instabilitas permanen. Terhadap hal yang demikian Sumartana mendorong adanya suatu pembaharuan politik, dari politik konfrontasi ke politik emansipasi. Gereja dalam hal ini perlu menyediakan sebuah landasan etika politik.
6. Akhirul kalam saya menyampaikan terima kasih atas perhatian kita semua di dalam mendengarkan orasi ini. Barangkali ada yang tidak sepaham dengan apa yang
disampaikan dalam orasi ini. Saya berharap akan ada tulisan yang menyusul untuk memberikan lagi suatu "lukisan" lainnya, suatu rekonstruksi sejarah yang akan lebih lengkap sehingga sebuah sejarah Gereja Toraja yang utuh kelak dihasilkan. Apa yang saya sampaikan ini bukanlah berita yang setara "Surat Wahyu" yang tidak boleh ditambah atau dikurangi. Demi kemajuan Injil Kerajaan Allah berbuatlah sesuatu walau hanya sebesar biji sesawi. Kalau Allah memberkatinya itu akan membawa banyak berkat. Sekian
Orasi pada Wisuda STT Rantepao 2002
Suatu gambaran mengenai Gereja Toraja
dalam situasl sosial-politik di Luwu dan Tanatoraja 1947-1967
1. Sebagaimana lazim di perguruan tinggi bahwa pada setiap peringatan hari berdirinya ada orasi ilmiah, demikian juga di STT Rantepao hal tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini teJah diJakukan. Dalam rapat Senat Sekolah Tinggi Teologi Rantepao, tanggal 31 Agustus 2002 saya ditunjuk untuk menyampaikan orasi pada peringatan Dies Natalisnya yang XXXVIII ini.
Sesuai dengan bidang studi yang saya ampu selama ini, yaitu sejarah gereja, maka topik orasi saya tentu tidak jauh dari bidang tersebut. Saya hari ini hendak berbicara tentang Gereja Toraja, dalam suatu kurun waktu yang saya namakan waktu-waktu yang penuh badai, yaitu masa antara tahun 1947 sampai tahun 1967. Tahun 1947 saya jadikan sebagai titik tolak, mengingat bahwa pada tahun itulah, tepatnya tanggal 25 Maret 1947, Gereja Toraja resmi berdiri sebagai sebuah institusi gereja. Tahun 1967 dijadikan sebagai pembatas atas dasar pemikiran bahwa itulah tahun berakhirnya berbagai badai yang melanda Gereja Toraja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Tahun-tahun selanjutnya adalah tahun-tahun yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai masa Orde Baru.
Mengapa justru masa lalu yang diorasikan? Mengapa bukan masa sekarang atau masa depan Gereja Toraja? Itulah uniknya sejarah. Sejarah selalu berbicara tentang masa lalu. Webster's Dictionary ( 1993:85) secara singkat menjelaskan bahwa sejarah adalah "past events, especially those involving human aftairs". Encyclopedia Americana ( 1984:226) menjelaskan sejarah sebagai "The past experience of mankind". Seorang sejarawan Amerika mengibaratkan seiarah sebagai seorang yang naik kereta menghadap ke belakang. Ia dapat melihat ke belakang, ke samping kanan dan kiri tetapi terkendala untuk melihat ke depan.
Betapapun (kenyataannya) demikian, tak jarang orang bijak berujar: "Jasmerah", "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah"(ucapan Soekamo, presiden pertama Republik Indonesia), atau "Belajarlah dari seiarah". Ucapan lainnya ialah: "Orang yang tidak menguasai sejarah adalah bagaikan orang yang lupa ingatan". Kita tidak usah tersinggung dengan ucapan yang terakhir ini sebab bukankah benar bahwa orang yang sudah dikategorikan sebagai lupa ingatan tidak menyadari lagi di mana ia sekarang berada, ia datang dari mana dan kemana hendak menujukan hidupnya. Orang yang lupa ingatan tidak berpikir tentang masa lalunya, masa sekarangnya, apalagi masa depannya. Ia pun tidak sadar untuk apa ia masih hidup sekarang. Lain halnya dengan kita yang berada dalam keadaan yang normal. Kita sadar bahwa kita sedang melangkah ke masa depan yang penuh dengan tantangan. Untuk itu kita tidak sekedar mau berjalan ke masa depan bersama dengan semua warga dunia lainnya melainkan diperlukan perhitungan- perhitungan dan pemikiran-pemikiran yang baik sehingga langkah kita mantap, terhindar dari sandungan-sandungan yang setiap waktu ada di jalan. Dengan menengok ke belakang,
2
entah ke masa yang jauh atau ke masa yang belum lama kita tinggalkan, kita belajar sesuatu dari masa-masa itu untuk melangkah dengan lebih baik lagi ke masa depan.
Dalam pemahaman seperti itulah saya mengajak kita semua untuk sejenak menaruh perhatian terhadap sejarah Gereja Toraja, kurun waktu dua puluh tahun yang pertama, 1947-1967. Semoga saja ada manfaatnya bagi kita semua.
Ini hanyalah salah satu "lukisan", salah satu upaya rekonstruksi. Diharapkan akan muncul "lukisan-lukisan" lainnya yang akan memperkaya khasanah sejarah gereja kita, Gereja Toraja khususnya, dan gereja-gereja lainnya.
Perlu diketahui bahwa apa yang saya sampaikan dalam bentuk orasi ini adalah isi utama tesis saya dalam mengakhiri studi saya pada STT INTIM Makassar, tahun 2000 yang lalu. Sebagai sebuah rangkuman sudah pasti bahwa orasi ini tidak akan mampu mengangkat ke permukaan semua hal yang tentu tidak kurang pentingnya. Keterbatasan waktu yang dialokasikan untuk ini sangat tidak memadai. Untuk itu, sekiranya ada yang berminat untuk lebih memuaskan rasa ingin tahunya, ke Perpustakaan STT Rantepao saya akan menyerahkan satu eksemplar dari tesis tersebut. DI Perpustakaan STT INTIM pun telah ada.
2. Tahun-Tahun yang Penuh Badai
Masa dua puluh tahun, sejak Gereja Toraja berdiri sendiri sebagai sebuah sinode (1947-1967), adalah masa yang penuh dengan gejolak sosial-politik. Berbagai gejolak itu adalah bagaikan badai yang sewaktu-waktu dapat menghentikan langkah Gereja Toraja menapak di jalan yang ditempuh. Badai yang dimaksudkan itu adalah sebagaimana yang terurai berikut ini.
2.1 Revolusi Fisik (sampai tahun 1949)
Dalam sejarah Indonesia, masa antara tahun 1945-1949 dikenal sebagai masa revolusi, yaitu masa dimana bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap Belanda yang berusaha untuk kembali berkuasa di Indonesia. Dengan membonceng di belakang tentara sekutu, Belanda berusaha merebut kembali semua wilayah yang telah dinyatakan sebagai wilayah kesatuan negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. NICA, demikianlah nama baru yang mereka gunakan untuk pemerintahannya. Bangsa Indonesia tidak rela menerima kembalinya pemerintah penjajah Belanda itu. Di semua wilayah republik terjadi perlawanan bersenjata, tidak terkecuali di daerah Sulawesi Selatan. Di daerah Swapraja Luwu, yang meliputi Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Tana Toraja yang sekarang serta Kolaka, terjadi pula pergolakan yang tidak kalah hebatnya dengan daerah-daerah lainnya. Seluruh warga masyarakat ikut berjuang. Baik di Luwu
3
maupun di Tana Toraja, daerah kelahiran Gereja Toraja, terbentuk kesatuan-kesatuan pemuda dan rakyat untuk mengadakan perlawanan. Sementara hal itu berlangsung, jemaat-jemaat, hasil penginjilan Gereformeerde Zendingsbond (GZB) mengadakan sinodenya yang pertama pada tahun 1947 dan menghasilkan keputusan bahwa jemaat- jemaat hasil zending itu mempersatukan diri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja. Gereja yang baru berdiri itu tentu saja segera diperhadapkan dengan masalah-masalah sosial-politik dari masa revolusi itu. Gereja Toraja diperhadapkan kepada pilihan politik yang cukup sulit. Gereja Toraja hendak bemaung dimana? Berada di bawah pemerintah Republik Indonesia atau di bawah NICA ? Bagaimanakah Gereja Toraja menghadapi badai revolusi itu?
2.2 Pasca Revolusi (1950-1967)
Pada tahun 1949 masa revolusi berakhir dengan ditandatanganinya penyerahan /pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda lewat Konferensi Meja Bundar. Peristiwa bersejarah tersebut tidakjuga segera mengakhiri gejolak sosial-politik yang terjadi sampai saat itu. Memasuki tahun 50-an sampai dengan berakhimya masa yang secara umum dikenal sebagai masa Orde Lama (ORLA), sebutan yang Orde Baru berikan terhadap masa sebelum ORBA, gejolak sosial-politik terus meningkat. Badai belum berlalu. Di berbagai daerah timbul pergolakan dan pemberontakan, baik sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat maupun yang sifatnya lokal. Pemberontakan DI/TII di daerah-daerah yang mayoritas Islam oleh pemimpin-pemimpin DI/TII, antara lain Kartosoewirjo di Jawa barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daud Beureue di Aceh, Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara, Pemberontakan PRRI di Sumatera, Pemberontakan RMS di Maluku.
Di Sulawesi Selatan, khususnya di bagian utara, Luwu dan Tana Toraja, selain pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, terjadi juga gejolak-gejolak sosial- politik lainnya. Selengkapnya, gejolak-gejolak yang dimaksudkan itu ialah sebagai
berikut.
2.2.1 Pemberontakan Kahar Muzakkar (1950-1965)
Pada tahun 1950 Kahar menyatakan pemberontakannya terhadap pemerintah pusat. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya terhadap cara pemerintah merasionalisasi para gerilyawan dari masa revolusi ke dalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia. Ia pun kecewa karena tidak diikutkan dalam operasi-operasi pemulihan ketenteraman di Sulwesi Selatan. Bersama dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya ia masuk hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Selama lima belas tahun ia mengembara di hutan-hutan Sulawesi Selatan
4
danSulawesi Tenggara. Pemberontakan tersebut menimbulkan ketidakamanan dan kerusakan di berbagai bidang.
Ketika pada tahun 1953 perjuangan Kahar Muzakkar digandengkan dengan perjuangan DI/TII Kartosoewirjo yang berusaha mendinkan negara Islam di Indonesia, pendekatan kekerasan digunakannya untuk memaksakan rakyat berpihak kepadanya. Di berbagai tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di bagian utara, di daerah Luwu dan Tana Toraja pemaksaan untuk berpindah ke Agama Islam terhadap penganut agama lainnya dilakukan. Penstiwa tersebut pada umumnya terjadi di daerah-daerah perbatasan yang jauh dari jangkauan Tentara Nasional Indonesia, seperti daerah-daerah Tana Toraja bagian selatan, barat, daerah Luwu seperti Ranteballa, Pantilang, Seko dan Rongkong. Rakyat yang tidak bersedia bergabung dengan Kahar Muzakkar banyak yang menjadi korban pembunuhan. Mereka yang sempat luput, melankan din ke daerah-daerah yang dianggap amman. Terjadilah pengungsian besar-besaran ke daerah-daerah yang dikuasai pemerintah pusat. Di Luwu, daerah-daerah pengungsian yang terkenal ialah Masamba, Sabbang, Palopo, Senti, Rantai Damai, Batusitanduk. Di Tana Toraja pada umumnya rakyat di daerah- daerah pinggiran mengungsi ke daerah di sekitar Makale dan Rantepao.
Rakyat dari daerah Seko tersebar ke berbagai daerah, ke Sulawesi Tengah, ke Kalumpang dan ke Tana Toraja.Sebagian dari pengungsi itu sudah ada yang sempat diislamkan, sebagian sudah Kristen dan sebagian lagi masih menganut agama lamanya, "Aluk Todolo". Badai yang mewujud lewat pemberontakan Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya baru berhenti ketika pada tanggal 3 Februari 1965 tentara Siliwangi berhasil menembak mati sang pemberontak, Kahar Muzakkar di tepi sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara.
2.2.2 Peristiwa 1953/1958
Khusus di Tana Toraja, pada tahun 1953 dan 1958 terjadi suatu peristiwa yang oleh masyarakat Toraja dikenal sebagai "Peristiwa Andi Sose". Disebut demikian karena yang dianggap sebagai penyebab penstiwa itu ialah Andi Sose (sekarang Pensiunan TNI dan pengusaha). Andi Sose adalah putra Puang Buntu Batu, saudara sepupu A. Y.K. Andilolo (mantan Bupati Daerah Tingkat II Kabupaten tana Toraja). Pada masa revolusi dia bersama tentara genlya pimpinannya, sebagian besar dari mereka adalah pemuda-pemuda Toraja, berjuang melawan pasukan Belanda yang kembali dengan pemerintah NICA-nya. Setelah revolusi fisik berakhir, gerilya pimpinannya diterima sebagai tentara nasional dan ditempatkan di Tana Toraja.
Tidak lama setelah ditempatkan di Tana Toraja terjadi keresahan di kalangan masyarakat. Banyak tindakannya yang dianggap tidak menyenangkan masyarakat, diantaranya karena ditengarai hendak membangun sebuah mesjid di tengah kolam
Makale, kolam kebanggaan masyarakat di ibu kota Kabupaten Tana Toraja itu. Tersebar
5
pula berita tentang perusakan sejumlah gadis Toraja oleh tentara-tentara mantan gerilyawan, pimpinan Andi Sose itu. Melihat gelagat yang tidak baik itu masyarakat Toraja bangkit melawan hendak mengusir Andi Sose dan pasukannya dari Tana Toraja. Usaha masyarakat Tana Toraja itu berhasil. Dalam waktu yang tidak lama Andi Sose dan pasukannya diusir dari Tana Toraja pada tahun 1953 itu juga.
Andi Sose masih sempat lagi kembali ke Tana Toraja dengan tujuan "membayar utang" kekalahannya pada tahun 1953. Dengan jumlah tentara yang lebih besar dan dengan persenjataan yang sudah lebih modern ia berharap dapat menguasai Tanatoraja. Ia muncul lagi di Tana Toraja pada tanggal 1O April 1958. Tetapi sekali lagi cita-citanya itu gagal karena masyarakat Toraja, yang menganalogkan situasi tersebut dengan peristiwa "Untulak Buntunna Bone", kisah perlawanan heroik masyarakat Toraja menghadapi tentara Bone di bawah pimpinan Aru Palaka yang hendak menaklukkan Tana Toraja ke bawah kekuasaan Bone menjelang akhir abad XVII, sekali lagi menang perang. Masyarakat Toraja merasa terbebas dari ancaman yang dirasakan sebagai suatu malapetaka. Pada waktu itu masyarakat Toraja, melalui PARKINDO dan Gereja Toraja, merasa telah terpandu melewati masa-masa yang penuh kegetiran itu. (Bnd. Bigalke, 1981:441). Bigalke menyebut PARKINDO sebagai pimpinan etnis Toraja dalam masa- masa menghadapi berbagai masalah, khususnya masalah-masalah sosial-politik dan budaya.
2.2.3 Revolusi Tani, 1953
Pada tahun 1953 terjadi sejenis "revolusi" yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tani yang telah terprovokasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), terutama melalui organisasi massanya yang dikenal dengan nama Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat (PR). Menurut Bigalke (1981 :403) banyak anggota dari kedua organisasi massa tersebut yang cukup handal, terlatih, baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat dunia. Berkat dukungan moral dari tentara Batalyon 422 Diponegoro kedua organisasi massa PKI itu melakukan penyerobotan tanah yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah karena anggapan bahwa tanah-tanah tersebut adalah milik mereka yang dahulu dirampas oleh para feodal yang berkuasa sebelum kedatangan pemerintah Belanda ke daerah Tana Toraja. Secara bergotong-royong dan berkelompok-kelompok mereka menanami sawah yang telah "dibebaskan"- Kelompok-kelompok tersebut kemudian menjadi sangat revolusioner-radikal sehingga melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap orang-orang yang dianggap perampas tanah milik nenek moyang mereka. dan sempat membantai beberapa orang dari bangsawan tuan tanah. Bungin, Kasimpo, Batupapan, Angin-Angin, Pangrante, Tikala, Pemanikan menjadi medan ravolusi tersebut. Hanya perlawanan spontan dari masyarakatlah yang kemudian menghentikan tindakan balas dendam massa BTI dan Pemuda Rakyat itu.
6
Bagaimanapun juga revolusi kaum tani itu adalah suatu badai yang terjadi di lingkungan pelayanan Gereja Toraja. Revolusi tersebut memang skalanya kecil saja tetapi itu jelas adalah masalah sosial-politik yang tak urung meninggalkan "luka" yang pedih dalam masyarakat yang mengalaminya.
2.2.4 Peristiwa G.30.S.PKI
Dalam sejarah Indonesia, peristiwa yang dikenal sebagai G.30.S / PKI adalah salah satu tragedi nasionaI yang memiliki dampak negatifyang sangat luas, khususnya bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Segera setelah peristiwa tersebut di seluruh Indonesia berlangsung pemburuan bagi mereka yang dianggap terlibat, baik secara langsung maupun tidak" Aksi-aksi dari berbagai pihak, organisasi politik, organisasi massa, golongan menuntut pembubaran partai yang dianggap sebagai dalang dan pelaku dari tragedi berdarah itu.
Luwu dan Tana Toraja, daerah paling utara Propinsi Sulawesi SeIatan pun tidak Iuput dari dampak peristiwa G.30./ PKI tersebut. Di daerah tersebut pengaruh PKI tidak kecil. Banyak anggota masyarakat, tidak terkecuali anggota Gereja Toraja menjadi anggotanya. Penyebabnya tidak lain adalah karena anggota masyarakat yang masih sederhana itu mudah tertarik kepada janji-janji dan iming-iming. Lagipula pengetahuan mereka tentang ideologi yang dianut PKI sangat minim. Mereka tidak tahu apa itu ateis. Barulah ketika peristiwa tragis itu terjadi mereka menjadi sadar. Bagi masyarakat Luwu dan Tana Toraja peristiwa G.30.S / PKI itu adalah juga badai, juga badai bagi Gereja Toraja.
2.2.5 Berdirinya GPIL
Pada tahun I966, tidak lama setelah peristiwa G.30.S/PKI, Gereja Toraja mengalami perpecahan. Sebagian besar anggotanya, khususnya mereka yang merasa orang Luwu, keluar dari Gereja Toraja dan mendirikan institusi gereja yang baru yang dinamakan Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL).
Berdirinya Gereja Protestan Indonesia Luwu bukanlah karena alasan teologis
melainkan karena alasan-alasan yang sifatnya non-teologis, menyangkut masalah-masalah sosial-politis dan budaya. Atas dasar pertimbangan bahwa mereka hidup dan tinggal di daerah Luwu dengan situasi sosial-budaya yang yang tak persis sama dengan yang dikenal secara umum sebagai kebudayaan Toraja dan bahwa mereka tak mau dianggap "orang asing di negeri sendiri" keinginan tersebut diwujudkan meskipun tidak melalui proses yang wajar.
Bagaimanapun kenyataan tersebut tidak dapat dihindari oleh Gereja Toraja. Peristiwa itu pun adalah suatu badai bagai Gereja Toraja. Ribuan anggotanya melepaskan diri dan membentuk institusi gereja yang mandiri
7
3. Melangkah di Dalam Badai
Bagaimanakah Gereja Toraja melangkah di dalam badai sebagaimana yang
dideskripsikan di atas? Tidak mudah baginya sebagai gereja muda untuk melangkah di dalam berbagai gejolak sosial-politik itu.
Gereja Toraja adalah hasil pekabaran Injil Gereformeerde Zendingsbond (GZB), lembaga pekabaran Injil dari negeri Belanda yang latar belakang teologinya bercorak Calvinis-Pietis dan Etis. Dari segi politis, Gereja Toraja bertumbuh dan berkembang ketika bangsa Indonesia masih dijajah oleh bangsa Belanda. Khusus Luwu dan Tana Toraja pemerintah Belanda mulai berkuasa di daerah tersebut sejak awal abad XX, tepatnya sejak tahun 1905. Dengan latar belakang tersebut orang Kristen, anggota Gereja, di Luwu dan Tana Toraja diidentifikasi sebagai kawannya Belanda. Identifikasi seperti itu menyulitkan posisinya.
Pada masa revolusi fisik (1945-1949) Gereja Toraja sebagai sebuah lembaga ditempatkan pada pilihan dilematis antara menyatakan keberpihakan secara jelas kepada pemerintah Republik Indonesia atau berpihak kepada pemerintah Belanda di bawah NICA.
Meskipun tidak terlihat dengan jelas pilihannya, tersirat juga sikapnya melalui kehadiran sejumlah anggota gereja dalam perjuangan melawan Belanda pada masa revolusi itu. Baik di Luwu maupun di Tana Toraja perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara yang sudah direbut itu dilakukan oleh anggota gereja secara pribadi. Banyak dari antara mereka yang gugur sebagai pejuang. Di samping kehadirannya di dalam perjuangan secara fisik sejumlah pemuda gereja yang menamakan diri "Republikein" turut berjuang di bidang politik untuk memperjuangkan terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia.
Suara-suara dari pihak zendeling tidak memperlihatkan dukungan yang pasti. Ada yang menyebut para pejuang sebagai orang-orang yang "kena pukau cita-cita kemerdekaan", atau menamakan cendekiawan Kristen yang terjun ke dunia politik sebagai orang yang "kacau pikirannya" .
Demikianlah Gereja Toraja melangkah di dalam masa revolusi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja waktu itu tidak terlalu tertarik kepada masalah politik Baginya, yang penting adalah bagaimana menjalankan pelayanan di dalam gereja. Hal itu nampak jelas pula di dalam notulen Sinode Amnya yang I dan II (dalam Himpunan Notulen Synode Pertama sampai dengan Synode Kelima Geredja Toradja). Masalah yang lebih menarik bagi gereja muda itu ialah mengenai perempuan yang tidak boleh memegang jabatan gerejawi, permandian (baptisan), perkawinan dan perceraian, lelang pada hari Minggu, mayat dan penguburannya, pekaamberan to sarani (orang-orang yang dihormati dalam jemaat ), buku leso" (daging tertentu yang diberikan kepada pemimpin tradisional). Gereja tidak mengeluarkan suatu fatwa tentang sikap politik menyangkut
8
situasi yang dihadapi.
Sesudah masa revolusi Gereja Toraja melangkah ke dalam masa-masa antara tahun 1950-1967), masa-masa yang juga penuh dengan badai. Buku "Benih Tumbuh VI" menamakan masa tersebut sebagai masa ujian n (Masa ujian I berlangsung pada masa Jepang, 1942-1945). Penamaan tersebut tentu dikaitkan dengan situasi sosial-politik yang terjadi zaman itu. Terjadi gejolak-gejolak sosial dan pemberontakan yang berlatar belakang ideologis-politis (lihat uraian di atas ).
Menghadapi situasi buruk yang ditimbulkan oleh pemberontakan Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya Gereja Toraja mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, bekerja sama dengan pemerintah menangani masalah-masalah pengungsi. Dalam urusan penanganan pengungsi P ARKINDO memegang peranan penting.
Kedua, Gereja Toraja meminta bantuan dari DGI untuk menangani kebutuhan sehari-hari para pengungsl.
Ketiga, Gereja Toraja melalui jemaat-jemaatnya menampung parapengungsi.
Selain bantuan berupa sandang, pangan dan papan, pimpinan gereja mengunjungi para pengungsi di tempat pengungsian dan memberikan bimbingan dan nasihat-nasihat serta penghiburan untuk menunjang semangat mereka.
Pada masa-masa sulit seperti itu beberapa tokoh gereja tampil dengan kharisma yang menonjol, antara lain pendeta J.Linting (almarhum), Pendeta Pattykaihatu (almarhum) yang menangani para pengungsi Seko di daerah pelayanannya di Kalumpang, Pendeta P.S.Palisungan sebagai gembalajemaat di resort Rongkong yang setia berada di tengah- tengahjemaatnya sampai gugurnya sebagai syahid pada tahun 1953 oleh gerombolan pemberontak DI/TII pimpinan Andi Masse', alias Mas Djaya. Almarhum Pendeta J . Linting, oleh Dr. Th. Kobong digelar sebagai "Londongna Toraya", sebab melalui peranannya pada masa-masa badai itu benar-benar telah memperlihatkan fungsinya sebagai "to urrengnge' aluk sia to urrengnge' tondok".
Menghadapi peristiwa 1953/1958, Peristiwa Andi Sose, Gereja Toraja bersama dengan PARKINDO telah berusaha melindungi atau mempertahankan Tana Toraja dan masyarakat Tanatoraja dari rongrongan orang-orang yang ambisinya pribadinya dianggap merugikan dan akan menenggelamkan Toraja. Gereja Toraja telah dianggap sebagai pandu masyarakat Toraja, begitupun halnya dengan PARKINDO yang waktu itu sulit membedakannya dari kekristenan. Menjadi anggota Gereja Toraja dianggap tidak cukup kalau tidak menjadi anggota PARKINDO, dan sebaliknya menjadi anggota PARKINDO haruslah berguna bagi Gereja Toraja. PARKINDO juga adalah pemimpin masyarakat Toraja.
Mengenai sikap Gereja Toraja dalam menghadapi "revolusi Tani" dan PKI, sampai dengan terjadinya peristiwa G.30.S/PKI Gereja Toraja tidak terlalujelas memperlihatkan sikap penentangannya. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa PKI dan organisasi massanya adalah partai dan organisasi resmi yang diakui oleh pemerintah. Di bawah
9
presiden Soekamo berlangsung Nasakomisasi (Nasionalisme, Agama dan Komunisme ). "Nasakom jiwaku", " Nasakom satu cita sosialisme", demikian didengungkan waktu itu. Gereja dan organisasi-organisasi Kristen baru memperlihatkan keberaniannya ketika PKI sudah dinyatakan sebagai otak dari Peristiwa G.30.S. Gereja Toraja juga mengeluarkan surat penggembalaan yang menyatakan penyesalannya, mengakui kelalaian dan dosanya. Dalam surat penggembalaan yang dikeluarkan usai Sinode Am Gereja Toraja di Sa'dan, tahun 1967 antara lain dikatakan:
"Menyebamya ideologi Komunis pada masa yang lampau yang memuncak dalam peristiwa G.30.S. yang mengakibatkan mala petaka yang sangat besar bagi kehidupan bangsa, Negara dan masyarakat adalah akibat kelalaian kita, juga dalam mewujudkan tugas kenabian kita. ...Marilah kita mengaku di hadapan Tuhan segala dosa dan kelalaian kita di dalam menyatakan kebenaran bahwa Tuhan yang telah menyatakan diri dalam Yesus Kristus adalah sumber segala kebahagiaan, kesej ahteraan pengharapan manusia" .
Menghadapi masalah terlepasnya sebagian anggota Gereja Toraja yang mendirikan Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL) Gereja Toraja telah berusaha untuk dapat merekat kembali keretakan itu. Berbagai pertemuan dan percakapan dilakukan dengan parapemimpin dan tokoh-tokoh GPIL namun keretakan tidak lagi dapat diperbaiki. Nasi telah menjadi bubur. Gereja Toraja harus menerima realitas bahwa ia tidak dapat mempertahankan dan memelihara keutuhan dirinya. Badai perpecahan meluluhlantakkan dirinya meskipun tak sampai hancur. Peristiwa tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga.
4. Masalah-Masalah Umum
Telah dikatakan di atas bahwa sebagai Gereja muda Gereja Toraja belum begitu tertarik terhadap masalah-masalah yang dianggap tidak langsung diperhadapkan kepada dirinya. Revolusi fisik pada tahun 1945-1949, DImI, Revolusi Tani 1953, Peristiwa 1953/1958 adalah kejadian-kejadian yang meskipun mengena dirinyajuga tidak atau belum terlalu dipikirkan secara mendalam, apalagi untuk dipersoalkan dari segi teologis. Hal-hal yang menjadi keprihatinan utamanya ialah urusan intern gereja, pelayanan ke dalam dirinya sendiri. Yang dipersoalkan adalah akibat-akibat yang timbul dari kejadian- kejadian di sekitamya, misalnya menangani masalah pengungsi sebagai akibat dari tekanan gerombolan DI/TII.
Penekanan terhadap pelayanan ke dalam memang telah menjadikan Gereja Toraja tumbuh menjadi sebuah gereja yang besar di Sulawesi Selatan yang peranannya pada masa kini tidak dapat dianggap kecil. Pengalamannya melangkah di dalam badai telah menjadikannya tumbuh dewasa dalam berbagai segi.
Sebagai akibat dari pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat
10
Konperensi Meja Bundar pada tahun 1949, bangsa Indonesia dengan demikian secara resmi terlepas dari belenggu penjajahan. Bangsa Indonesia mulai menata diri sendiri. Hal yang sama terjadi pula di dalam gereja. Gereja-gereja, termasuk Gereja Toraja mulai belajar mandiri, mandiri dalam daya, dana dan teologi.
Pertumbuhan kwantitas anggota Gereja Toraja, terutama sejak zaman Jepang dapat dikatakan cukup fantastik. Meskipun mungkin hanya sebagai pemyataan politis, Pendeta J. Linting mengatakan bahwa pada awal tahun 1950-an Gereja Toraja sudah memiliki anggota sejumlah 180.000jiwa. Bagaimanakah mengatasi ledakan pertambahan anggota tersebut? Gereja Toraja segera mengatasinya dengan mendirikan sekolah-sekolah. Di bidang pendidikan teologi Gereja Toraja mendirikan Sekolah Alkitab Gereja Toraja, Pendidikan Guru Agama tingkat atas(PGAA) pada tahun 1962, STT Rantepao pada tahun 1964. Melalui sekolah-sekolah teologia tersebut Gereja Toraja mampu mengatasi kekurangan tenaga pelayan.
Untuk bidang pendidikan umum didirikan sekolah-sekolah Kristen di bawah payung Yayasan Perguruan Kristen Toraja (YPKT) yang didirikan pada tahun 1954. Alumnus dari sekolah-sekolah Kristen asuhan YPKT , diantaranya adalah SGA , kemudian berganti nama dengan SPG, telah berperan banyak di dalam membawa kemajuan bagi masyarakat Toraja, khususnya anggota Gereja Toraja.
Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, khususnya ekonomi jemaat, Gereja Toraja mengadakan tiga proyek utama: Percetakan dan Balai Buku yang bertujuan melayani kebutuhan gereja khususnya dan masyarakat pada umumnya, Proyek Buntu Marampa' yang merupakan perusahaan kooperatif yang bertujuan membiayai pensiun guru-guru dan YPKT, dan Proyek Rante- Tagari yang maksud dan tujuannya ialah untuk pendidikan teknologi bagi ST I, ST II dan STM.
Sebagai akibat dari pergolakan di dalam masyarakat pada tahun 1960-an Gereja Toraja menghadapi pergumulan yang sangat besar. Pergumulan yang berat itu temyata menghasilkan karya teologi yang cukup besar pula artinya bagi Gereja Toraja, yakni dihasilkannya satu pengakuan iman: Pengakuan Gereja Toraja (PGT) yang kemudian disahkan dalam Sidang Sinode Am XVI Gereja Toraja tahun 1981 di Makale.
Bidang-bidang pelayanan barupun di bentuk untuk lebih memahami pelayanan intern Gereja, seperti dibentuknya Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT) pada tanggalll Desember 1962, Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT) pada tanggal5 Desember 1966.
Dalam hubungan dengan dunia politik terlihat bahwa ada ketidaksepahaman diantara pimpinan gereja. Mereka yang menentang keterlibatan di dalam dunia politik mengajukan alasan bahwa gereja dan dunia adalah dua hal yang berbeda sekali dan keduanya harus dipisahkan. Politik hanyalah upaya memperebutkan kekuasaan. Pada pihak lain, mereka yang menerjunkan diri ke dunia politik berpikir bahwa satu-satunya sarana untuk menghubungkan diri dengan dunia politik ialah PARKINDO, partai berlabel Kristen pada
11
waktu itu. Alasan teologis untuk keterlibatan di dalam dunia politik belum dipikirkan. Kambing hitam untuk masalah ini ialah teologi pietis yang memusuhi dunia. Barulah sesudah Sidang Sinode Am XI Gereja Toraja di Sa'dan pada tahun 1967 sebuah komisi dibentuk untuk urusan kemasyarakatan, yaitu Komisi Gereja dan Masyarakat.
5. Catatan-Catatan Teologis
Banyak hal yang perlu diberi catatan-catatan teologis dari masa yang disampaikan dalam orasi ini, tetapi karena keterbatasan waktu maka pilihan terbataspun dilakukan. Di sini saya memilih untuk memberi catatan terhadap peran sosial-politik Gereja Toraja selama waktu yang disebut sebagai masa badai (1947-1967). Gereja Toraja yang dimaksudkan di sini dapat berarti institusinya ataupun anggotanya.
Secara institusi, peran sosial-politik Gereja Toraja dalam kurun waktu 20 tahun (1947-1967) belum memadai. Gereja Toraja baru belajar menghadapi situasi yang untuknya sebagai gereja muda masih baru dan cukup sulit. Tambahan pula gereja muda ini meskipun sudah dinyatakan berdiri sendiri masih tetap berada di bawah bayang-bayang Zending yang menghasilkannya, khususnya di bidang teologi. Untuk itu Gereja Toraja baru mengarahkan perhatiannya ke dalam dirinya, mengurus diri supaya mampu bertahan di dalam "gelombang dunia", atau "badai" yang menimpanya. Gereja Toraja kala itu belum tertarik kepada masalah-masalah yang terkait langsung dengan urusan dunia seperti politik. Maka ketika partai-partai politik terbentuk di Toraja, termasuk PARKINDO, Gereja Toraja tetap menjaga jarak. Sebagai akibatnya, ketika gejolak-gejolak sosial- politik merambah wilayah pelayanannya Gereja Toraja sulit juga menentukan sikap. Maka Gereja Torajajuga hanya menangani akibat-akibat yang secara langsung dialami oleh masyarakat, khususnya pengungsi yang disebabkan oleh tekanan dari DI/Tll Kahar Muzakkar .
Bertentangan dengan sikap institusinya, banyak anggota Gereja Toraja secara individu mengambil jalannya sendiri, misalnya terjun ke medan perjuangan bersenjata melawan NICA, menghadapi gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar, melawan Andi Sose, menghadapi revolusi tani dan PKI. Keterlibatan anggota Gereja dalam menghadapi berbagai badai yang menimpa masyarakat bukanlah atas fatwa langsung dari Gereja sebagai institusi melainkan keputusan pribadi setiap anggota yang merasakan perlunya melibatkan diri dalam memperjuangkan kemerdekaan, keamanan, kedamaian dan ketenteraman.
Dari catatan di atas jelas bahwa Gereja Toraja sebagai sebuah institusi belum secara teologis memikirkan perannya di dalam dunia, khususnya di bidang sosial-politik. Keikutsertaan anggota jemaat secara pribadi di dalam berbagai peristiwa yang mereka hadapi bukanlah karena mempunyai pijakan yang kokoh dalam hal penghayatan iman Kristianinya melainkan karena terpaksa bertindak dan karena dianggap sebagai tuntutan
12
zaman; Jadi lebih banyak pertimbangan yang non-teologis. Memang ada juga yang telah mencoba mendekatkannya atau menggandengkannya namun kemudian menjadi salah kaprah, sebagaimana yang terjadi dengan PARKINDO, yaitu menyamakan demikian saja partai yang berlabel Kristen itu dengan kekristenan itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa kalau tidak masuk PARKINDO mereka sebenarnya bukan orang Kristen. Mereka ingin bahwa sebanyak anggota Gereja Toraja sebanyak itulah pula anggota PARKINDO. Pemikiran seperti itu dipermudah oleh kenyataan bahwa sebagian besar tokoh Gereja Toraja adalahjuga pengurus PARKINDO. Dengan demikian pula dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja dan PARKINDO saat itu saling memperalat, simbiosis-mutualistis. Seandainya sudah ada landasan teologis yang kokoh dari Gereja Toraja mengenai hubungan gereja dengan konteksnya, khususnya dengan dunia politik, misalnya mengenai hubungan gereja dengan negara, maka masalah pelik seperti di atas akan dapat diatasi.
Berbicara mengenai hubungan gereja dan politik sangat jelas terlihat dari sejarah gereja sendiri. Sudah dari awal sejarahnya gereja berkutat dengan masalah-masalah politik, dan sampai sekarang pun gereja tidak mungkin menjauhkan diri dari padanya. Memang benar bahwa sepanjang sejarahnya gereja diperhadapkan kepada dua pilihan, yaitu keterlibatan langsung ke dalam dunia politik, atau mencoba menjauhkan diri dari dunia politik itu. Menurut Soegeng Hardiyanto kedua pilihan tersebut merupakan pilihan berbahaya. Pada satu pihak gereja harus berpolitik dan harus mempunyai sikap politik yang jelas dan tegas, namun juga rela menolak dengan sungguh-sungguh kekuasaan politis. Politik tidak boleh diharamkan dan dikutuk meskipun setiap kehidupan politik selalu menyangkut soal kekuasaan dan penggunaan kekuasaan. Bahkan dengan kehidupan politik yang menyangkut kekuasaan itulah gereja harus semakin terpanggil untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan setia sehingga tidak akan mudah dijinakkan oleh penguasa politik yang tidak demokratis dan tidak emansipatoris.
Sebenamya, jauh sebelumnya, di masa ORLA, keterlibatan orang Kristen atau gereja dalam dunia politik sudah diuraikan dengan jelas oleh Notohamidjojo dalam bukunya "Tanggungdjawab Geredja dan orang Kristen dibidang politik". Berdasarkan
pertimbangan yang asasi, Notohamidjojo memperingatkan gereja tentang panggilannya di bidang politik, yaitu rasa tanggung jawab dalam turut membangun Kerajaan Allah di dunia. Rasa tanggung jawab adalah pengakuan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak hidup sendirian melainkan keberadaannya ditentukan pula oleh pihak lain, entah itu dengan sesama manusia, tetapi terutama dalam pertanggungjawaban terhadap Allah yang oleh-Nya manusia disebut gambar Allah. Martin Buber, yang menekankan hubungan tanggung jawab di antara manusia mengatakan: "Aku ini baru aku karena kamu". Jadi keberadaan manusia adalah keberadaan yang menjawab, khususnya keberadaan yang menjawab kepada Tuhan Yesus, Kepala Gereja.
Tanggung jawab gereja di bidang politik berarti bahwa gereja harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yesus, RajaKerajaan Allah. Gereja harus bertanggung jawab terhadap
13
semua bidang kehidupan, termasuk tanggung jawabnya di bidang politik. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat hakiki. Menurut Notohamidjojo gereja yang tidak memperhatikan politik berada "di luar kegiatan pembangunan Kerajaan surga".
Dapat dipastikan bahwa dalam rangka pemahaman inilah dan karena tuntutan yang mendesak dari konteks gereia-gereja di Indonesia sekarang, Gereia Toraja juga telah turut berbenah diri dan menentukan sikap. Dalam rasa tanggung jawab itulah Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja telah memprakarsai suatu "Pertemuan Khusus Pimpinan Gereja Toraja" pada tanggal 19-22 Agustus 1998 untuk mendiskusikan dan merumuskan pemahaman Gereja Toraja mengenai ‘GEREJA DAN POLITIK’ yang hasilnya akan menjadi "pedoman Gereja Toraja sebagai sebuah institusi pada seluruh aras dan dalam semua unit pelayanannya, dan oleh segenap warga Gereia Toraja sesuai bidang tugas masing-masing khususnya di bidang politik, dan menjalankan tugas-tugas kesaksiannya sebagai umat Allah di tengah-tengah dan untuk masyarakat dan bangsa Indonesia". Ada pengakuan yang tulus dari Gereja Toraja bahwa selama ini Gereja Toraja belum melaksanakan fungsi-fungsinya khususnya di bidang politik. Kendalanya antara lain disebutkan tentang "Adanya pengaruh tradisi teologi pietistis yang cenderung menjauhkan gereia dari bidang politik", atau "terutama karena penyelenggaraan kekuasaan di dalam bangsa dan negara ini amat terpusat di dalam satu tangan, dan rakyat serta hampir semua orang terbius dan terbelenggu di dalamnya". Dengan telah adanya pedoman hasil rumusan sebuah tim yang dibentuk untuk itu maka Gereja Toraja sebagai institusi dan orang Kristen secara pribadi tidak akan ragu-ragu lagi "makan" makanan yang sebelumnya dicurigai sebagai yang "haram dan najis", yaitu memikirkan dan berbuat sesuatu untuk negara lewat jalur politik dan bidang-bidang lainnya.
Masalahnya sekarang adalah: Apakah dengan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas gereja-gereja atau orang Kristen telah sedemikian rupa "berpolitik" sehingga telah mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi bangsa, negara dan masyarakat Indonesia?
Menyadari hal itu Th. Sumartana berbicara tentang perlunya dilakukan langkah repositioning yang mendasar supaya gereia mampu menyumbang pemikiran yang segar kepada umatnya, termasuk kepada masyarakat. Ia menunjuk dua hal yang menurut dia perlu pembaharuan, yaitu pembaharuan politik ke arah emansipasi dan pengembangan kesadaran pluralisme masyarakat. Mengenai pembaharuan politik ke arah emansipasi dijelaskan bahwa emansipasi politik perlu kembali disadari se]aku esensi keterlibatan gereja dalam reformasi politik. Bagi Sumartana, prinsip emansipasi berarti memberi peluang dan kesediaan berbagi kesempatan bagi kelompok lain untuk melakukan peran bagi kehidupan bersama di tengah masyarakat majemuk. Ditengarai olehnya bahwa selama ini politik sering dimengerti sebagai soal merebut dan mempertahankan kekuasaan semata, menggelembungkan peran kelompok sendiri sambil mengeliminasi dan merendahkan kelompok lain. Politik semacam ini mengingkari kenyataan masyarakat yang majemuk, dan merupakan sebuah "politik bunuh diri massal", benih instabilitas permanen. Terhadap hal yang demikian Sumartana mendorong adanya suatu pembaharuan politik, dari politik konfrontasi ke politik emansipasi. Gereja dalam hal ini perlu menyediakan sebuah landasan etika politik.
6. Akhirul kalam saya menyampaikan terima kasih atas perhatian kita semua di dalam mendengarkan orasi ini. Barangkali ada yang tidak sepaham dengan apa yang
disampaikan dalam orasi ini. Saya berharap akan ada tulisan yang menyusul untuk memberikan lagi suatu "lukisan" lainnya, suatu rekonstruksi sejarah yang akan lebih lengkap sehingga sebuah sejarah Gereja Toraja yang utuh kelak dihasilkan. Apa yang saya sampaikan ini bukanlah berita yang setara "Surat Wahyu" yang tidak boleh ditambah atau dikurangi. Demi kemajuan Injil Kerajaan Allah berbuatlah sesuatu walau hanya sebesar biji sesawi. Kalau Allah memberkatinya itu akan membawa banyak berkat. Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar