Selasa, 17 Maret 2009

Kopi, Budak dan Senjata Api

Kopi, Budak dan Senjata Api

Kopi tidak bisa dipisahkan dengan orang Toraja. Bagi masyarakat Toraja, kopi adalah produk komersil yang sangat terkenal sehingga kopi Toraja bisa disandingkan dengan kopi Arabica. Pada tahun 1902, seorang ahli tanaman Belanda, van Dijk, melaporkan bahwa dia menemukan populasi pohon kopi di bagian barat wilayah Sa’dan yang umurnya ditaksir sekitar 200-300 tahun. Dengan demikian, jika Dijk benar, maka asumsi bahwa Belandalah yang membawa kopi ke Toraja menjadi tidak benar karena Belanda baru memperkenalkan kopi ke Sulawesi sekitar tahun 1830-an. Kemungkinannya adalah, bisa jadi kopi diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Bugis Makassar yang juga aktif berdagang sampai ke pasar Rantebua’, pasar Kalambe, pasar Rantepao, dan pasar-pasar lainnya di dataran tinggi jauh sebelum Belanda memasuki wilayah ini.

Karena kopi, terjalinlah jaringan perdagangan yang menghubungkan antara Toraja dan dataran rendah di abad ke-19, bisa jadi juga jauh sebelumnya. Saat itu dikenal Zona Utara yang berpusat di Pangalla’ sebagai pusat produksi kopi dan Segitiga Selatan yang diorganisir Tallu Lembangna (Makale’, Sangalla’ dan Mengkendek) yang terhubung dengan jalur perdagangan ke Luwu ke arah timur dan ke Duri, Kalosi, Enrekang, Sidenreng, dan Pare-Pare ke arah selatan.

Selain kopi, budak juga menjadi “barang” dagangan antara Toraja dan dataran rendah pada masa itu. Perdagangan budak ini lebih disebabkan pada kebutuhan tenaga kerja seiring dengan meningkatnya aktifitas perdagangan. Dengan demikian, kopi dan budak menjadi dua komoditi yang sangat penting dan karenanya harga keduanya bisa merujuk satu sama lain; jika ada perubahan harga kopi, harga budakpun bisa berubah. Dari catatan van Braam Morris, salah seorang gubernur Belanda ketika dia berada di pelabuhan Luwu pada tahun 1888, dia menyaksikan banyak orang Toraja yang dijual murah dan dikirim ke dunia luar.

Sebagai upaya untuk mengontrol perdagangan kopi dan budak serta jaringannya, perdagangan senjata api menjadi bagian dari transaksi yang dilakukan oleh penguasa dan pedagang waktu itu. Tentu saja, ini untuk mempertahankan dominasi mereka atas kopi yang menjadi komoditas penting di perdagangan dunia waktu itu. Untuk tujuan yang sama, aliansi antar tondok (kampung) juga berkembang, demikian pula kerjasama antara pemimpin tondok di Toraja dengan mitra dagang mereka di dataran rendah. Di Palopo sebagai pusat kerajaan Luwu waktu itu, seorang pedagang keturunan Arab yang bernama Said Ali menjalin hubungan kerjasama dengan Pong Tiku yang mengontrol Zona Utara dan Pong Maramba yang menguasai Segitiga Selatan. Said Ali memberikan bantuan senjata api serta bantuan tentara kepada penguasa Toraja sebagai bagian dari pengontrolan perdagangan kopi dan budak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar